10. Berita Tanpa Bumbu

202 31 19
                                    

BAHKAN MINGYU TIDAK dibiarkan mengatakam sepatah kata pun meski sebenarnya jika dipersilakan bicara ia pasti akan tetap menutup mulut. Karena memang ia tidak tahu harus mengatakan apa. Berbohong hanya akan membuat semuanya semakin runyam. Juga jika ketahuan sang ayah, kemarahan beliau pasti semakin berlipat ganda. Saat ayah Mingyu melihat ke arah lain dan sedikit lengah, dengan perasaan takut Mingyu coba curi-curi pandang ke arah Seokmin. Mengharapkan bantuan. Yang sialnya Seokmin malah memberi kode bahwa Mingyu harus mengatakan hal yang sebenarnya.

Sedikit lebih tenang, akhirnya Mingyu dan Seokmin dipersilakan duduk. Setumpuk berkas yang berhasil Seokmin kumpulkan sebelumnya dan dijadikan sebagai bahan rapat dadakan mereka pada dini hari tadi diberikan kepada Tuan Kim. Saat satu per satu kalimat dibaca oleh sang ayah, tangan Mingyu gemetar hebat. Ketakutan, tentu saja. Sebagai anak, ia tahu persis bagaimana menyeramkannya beliau jika sudah kehilangan kendali amarah.

Kurang dari tiga menit menelaah berkas tersebut, ayah Mingyu akhirnya mengembalikannya dengan cara melempar hingga berserakan. Cekatan Seokmin mengumpulkannya kembali. Mingyu semakin gemetar takut. "Kamu baru berada di posisi ini selama setengah tahun. Bagaimana bisa kamu langsung kecolongan seperti ini? Bagaimana caramu mengawasi mereka?"

Mustahil Mingyu mengatakan bahwa ia telah lalai karena mementingkan hati, alias proses pendekatan dengan si pemilik toko roti itu, sehingga berapapun angka yang diajukan dalam laporan pengeluaran tidak masalah baginya. Akan tetapi, bukankah ini semua bukan sepenuhnya salah Mingyu? Setiap divisi perusahaan sudah memiliki pimpinan masing-masing. Harusnya pimpinan mereka yang disalahkan, bukan Mingyu.

"Memangnya kamu sudah memanggil pimpinan mereka? Apa katanya?" tanya Tuan Kim lagi, meski pertanyaan sebelumnya belum mendapat jawaban.

Lagi-lagi Mingyu memberi kode pada Seokmin. Meminta tolong agar personal assistant-nya itu saja yang menjelaskan semuanya. Khawatir akan salah bicara.

Seokmin sedikit menegakan badan. Menghalau rasa takut, meski sudah ratusan kali ia berada di kondisi seperti ini. "Kami sudah mencari tahu melalui pimpinan mereka, Tuan. Tapi hingga pukul sepuluh malam tidak juga mendapat pencerahan. Maka dari itu kami mengadakan rapat dadakan pada dini hari, menghadirkan seluruh anggota yang mengurus konsumsi perusahaan, termasuk kantin."

"Tapi kenapa pertemuannya harus diadakan di toko roti itu?" tanya Tuan Kim, memukul meja. Berteriak penuh murka. "Kalau saja kalian tidak mengadakannya di sana, pasti berita itu tidak menyebar. Sekarang apa tanggung jawab kalian atas kekacauan ini? Terutama kamu, Lee Seokmin! Kenapa mengurus satu orang pimpinan saja kamu tidak mampu? Apa kamu lupa kalau kamu bekerja di sini untuk melunasi hutang kedua orangtuamu? Padahal jika kinerjamu bagus, aku berniat mengurangi potongan gajimu. Kalau seperti ini terus, jangan harap hutang kedua orangtuamu lunas setelah lima tahun kamu bekerja di sini."

Mulut Seokmin sangat gatal. Ia sangat ingin mengatakan kalau anaknya itulah, Kim Mingyu, yang sudah membuat kekacauan ini. Mingyu terus bersikeras mengadakan rapat dadakan itu di sana dengan dalih kelengkapan berkas. Padahal pada kenyataannya, Seokmin tahu bahwa Mingyu hanya ingin terlihat keren di depan Boo Seungkwan. Akan tetapi, Seokmin tidak bisa melakukan apa pun selain pasrah dengan kalimat hinaan yang diucapkan kepadanya. Karena pembelaan apa pun tidak mungkin dipercaya.

Tepat setelah ayah Mingyu keluar dari ruangan, Mingyu langsung meminta nomor ponsel Lee Jihoon melalui Seokmin. Menghubungi gadis itu tanpa merasa harus berdiskusi dengan asisten pribadinya. Inilah cara terakhir yang bisa ia lakukan. Termudah, tercepat, dan satu-satunya.

"Ah... Kim Mingyu?" tanya Jihoon, tertawa. "Aku tidak pernah membayangkan kalau pada akhirnya kamulah yang mencariku terlebih dulu."

Mingyu ingat bahwa ia pernah berlaku kurang baik terhadap Jihoon, karena kedekatannya dengan Seokmin. Pasti karena itulah Jihoon bicara demikian. "Pertama, aku minta maaf dengan kejadian selama kita SMA. Kedua, aku ingin minta tolong, naikan berita apa pun yang bisa menenggelamkan berita perusahaan ayahku."

BAMBOOZLE (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang