15. Di Bawah Hujan
Sejak hari itu, Wisnu jadi sering sekali bertemu dengan si pemilik buku harian. Agak menggelikan jika menganggap itu sebuah kebetulan. Ia lebih percaya jika Kaia memang sengaja menciptakan kebetulan itu. Apalagi hari-hari setelahnya, Kaia tak lagi menyembunyikan perasaan. Gadis itu kelihatan tidak sungkan mendekat, bahkan mengejarnya. Seperti siang ini contohnya.
"Hai, Wisnu."
Gadis itu mendatanginya di kantin, ketika ia sedang berkumpul bersama teman-teman satu jurusan. Tersenyum lima jari, apalagi ketika mendapat respons baik dari yang lain.
"Sini, Kai." Arta, laki-laki yang duduk di sebelah Wisnu menyapa dengan ramah.
"Jangan di situ, Kai. Arta playboy. Sebelah gue aja," celetuk Revo, temennya yang lain.
"Arta sama Revo satu spesies, Kai. Di sebelah gue aja."
Wisnu hanya diam, membiarkan teman-temannya berebut memberi tempat duduk untuk Kaia. Toh bukan urusannya. Meski sudah sebulan berlangsung sejak Kaia terus membuntutinya, tapi ia tidak pernah memberi atensi kepada gadis itu. Mungkin seminggu dua minggu lagi Kaia juga akan menyerah.
"Maaf, kakak-kakak. Makasih udah baik hati nawarin tempat duduk buat gue. Tapi gue maunya di sebelah Wisnu."
Sontak kalimat Kaia itu disambut sorakan teman-teman Wisnu, termasuk yang perempuan. Sementara Wisnu tanpa sadar mendongak, memperhatikan Kaia yang melempar senyum manis sembari mengambil duduk di sebelahnya.
"Hai, Nu." Senyum yang terlalu lebar itu menciptakan bulan sabit pada kedua mata Kaia. "Nggak apa-apa kan Kai duduk di sebelah kamu?"
Wisnu terdiam untuk sesaat, sebelum mengedikkan bahu. Tak ada jawaban berarti. Toh meski ia melarang, Kaia tak akan mendengarkan. Wisnu pernah satu dua kali dengan terang-terangan menunjukkan rasa tidak nyamannya, tapi Kaia seolah tidak peduli. Gadis itu tetap mendekatinya. Jadi, sekarang ia memilih membiarkan selama tak mengusik kesehariannya.
"Gue kemarin bikin kue putu banyak di rumah."
Sambil memusatkan perhatian ke arah laptop, Wisnu melirik Kaia yang mengeluarkan dua buah styrofoam dari dalam tote bag.
"Buat kalian."
"Wiih asik nih."
"Dalam rangka minta restu deketin Wisnu ya, Kai?"
"Eh, ketahuan ya?"
Mereka tertawa. Wisnu sendiri hanya diam, bahkan saat Kaia meletakkan sebuah kotak makan di depannya. Gadis itu sedikit mendekatkan wajah, membuat Wisnu mengangkat kedua alis.
"Buat Wisnu, spesial."
Lagi, Wisnu masih bungkam. Tangannya menggeser kotak makan warna biru laut itu lebih dekat ke laptop, tapi hanya sebatas itu. Ia tak membukanya.
"Kok nggak dibuka?" Kaia bertopang dagu menatapnya. "Wisnu nggak suka kue putu?"
"Biasa aja," jawab Wisnu, datar.
"Kalau gitu, buka dong. Atau mau Kai bukain?"
Dan bahkan sebelum Wisnu sempat memberi tanggapan, Kaia sudah membuka benda itu. Terlihat di dalamnya beberapa potong kue putu dengan taburan kelapa parut di atasnya. Tampak lezat, sehingga untuk sesaat memandangi makanan itu tanpa sadar.
"Cobain dong, Wisnu. Pasti enak, kok. Tuh kakak-kakak yang lain juga pada doyan. Wisnu pasti juga suka. Kai bikinnya pakai hati, soalnya."
Menghela napas, Wisnu mengulurkan tangan untuk mengambil sepotong. Ketika satu gigitan masuk, rasa manis bercampur gurih menyapa lidahnya. Itu mengingatkan Wisnu akan pengalaman masa kecil, ketika Mama membawakan jajanan tradisional ketika pulang dari pasar.
"Enak, kan?"
Wisnu mengangguk singkat, yang kemudian membuat Kaia menyengir lebar.
"Wisnu punya kue kesukaan, nggak?"
Wisnu mengedikkan bahu. Ia masih memakan potongan kue putu kedua, sembari kembali melanjutkan tugas di laptop.
"Semua suka, ya? Keren. Nanti Kai bikinin. Gini-gini Kai jago bikin kue, tahu." Kaia bercerita dengan riangnya. "Kalau kesukaan Kai itu kue balok. Ada cokelat lumernya gitu, amazing. Nanti Kai bikinin. Wisnu harus coba, dijamin enak!"
"Gue juga mau dong dibikinin, Kai."
"Gue juga, coklatnya yang banyak."
"Gue, apalagi. Mau banget, Kai. Gue belum pernah coba yang namanya kue balok."
Lalu begitu saja, teman-temannya ikut nimbrung. Mereka seolah tak mempermasalahkan kehadiran Kaia yang merupakan junior.
"Maaf ya, kakak-kakak. Khusus kue balok, gue cuma mau bikinin Wisnu aja. Just Wisnu, nggak ada yang lain. Soalnya itu kue kesukaan gue. Jadi gue bikinnya buat orang yang gue suka aja."
Gerakan mengunyah Wisnu terhenti. Ketika yang lain bersorak, Wisnu justru melirik Kaia yang tersenyum percaya diri. Entah terbuat dari apa hati gadis itu, sehingga tidak punya rasa malu atau sungkan mengumumkan perasaan di depan banyak orang.
***
Meski temannya terlihat welcome dengan keberadaan Kaia yang tiba-tiba, bukan berarti Wisnu tidak tahu jika ada beberapa yang sering menggosipkan gadis itu. Sering ia mendengar Kaia dijadikan bahan pembicaraan. Seperti sekarang, contohnya.
"Nggak ngerti lagi gue, gimana ada cewek yang nggak tahu malu kayak dia."
"Bener. Padahal muka Kaia aja pas-pasan gitu. Dengan pedenya bilang ke semua orang kalau dia naksir Wisnu."
"Dan Wisnu-nya cuek. Mampus nggak tuh?"
"Hahaha gue mau ngakak sebenarnya kalau lihat dia dicuekin Wisnu. Kasihan sih, tapi salah sendiri nggak sadar diri. Dia sama Wisnu tuh beda kasta. Masa dia nggak bisa ngaca?"
Wisnu yang baru akan masuk ke dalam ruang UKM, tak sengaja mendengar perbincangan mereka. Entah kenapa ia justru berbalik arah dan meninggalkan ruangan itu. Ia memang tak acuh kepada Kaia, tapi tak pernah membandingkan kasta mereka. Ia tahu betul perasaan Dian yang dianggap sebelah mata.
Hujan sedang turun dengan derasnya ketika Wisnu berniat keluar menuju parkiran mobil. Karena itu ia mengurungkan niat, kembali masuk ke gedung tapi kantin adalah tujuannya. Di sana ada beberapa mahasiswa yang terlihat sedang berbincang. Kebanyakan adalah temannya. Karena itu ia memutuskan bergabung, tapi akan memesan kopi lebih dulu.
Saat memesan itulah, matanya tanpa sengaja menangkap bayangan seseorang yang berlari ke belakang kantin. Merasa tidak asing dengan sosok itu, tanpa sadar Wisnu melangkah untuk mengikutinya. Suara air hujan yang jatuh di atap galvalum terdengar begitu jelas di tempat itu. Ketika sampai di belokan, mata Wisnu memicing.
Ia melihat gadis dengan jeans hitam dan kemeja lengan panjang yang membawa payung, berhenti di bawah pohon. Gadis itu tiba-tiba berjongkok, lalu meletakkan payung di dekat rumput tinggi. Saat itulah, Wisnu melihat tiga ekor kucing yang tampak kedinginan di sana. Kaia—gadis itu—mengelus salah satu hewan itu.
Sembari bersandar di dinding, Wisnu terus memperhatikan apa yang dilakukan Kaia. Kaia tampak basah kuyup, demi merelakan payungnya agar hewan-hewan itu tidak kehujanan. Gadis itu mengeluarkan sebuah box makan dan meletakkannya di depan ketiga kucing. Sepertinya itu makanan, karena tiga makhluk kecil itu langsung mengerubungi dan memakannya. Dari tempat ini, Wisnu bisa melihat tawa Kaia.
Mata Wisnu tidak berkedip. Wajah Kaia memang biasa saja, tidak secantik Dian. Namun saat ini, di bawah butiran hujan, sosoknya terlihat agak berbeda. Tawa dan senyum itu tampak lebih tulus dari biasanya.
"Wisnu, ngapain lo di situ?"
Teguran itu membuat Wisnu tersadar. Menoleh, ia melihat Arta berdiri tak jauh di belakangnya. Setelah melirik sejenak ke arah Kaia, Wisnu akhirnya memutuskan kembali ke kantin. Berkumpul dengan beberapa temannya. Namun meski begitu, ingatan akan sosok Kaia masih terbayang di benaknya.
***
Magelang, 20 Agustus 2022
Direpost 25 November 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Way Back To You (END)
Romance(PDF dan buku cetak sudah ready. Cek infonya di dalam cerita) Dulu, Kaia pernah membuat kesalahan dengan berusaha mengacaukan hubungan Wisnu dan Dian. Ia mengejar-ngejar Wisnu dan mengerahkan seluruh perhatian untuk pria itu. Hanya demi Giri yang sa...