Aiken menggendong bayi kecilnya yang berumur tiga bulan. Menepuk pelan punggung mungil itu agar tidak terbangun dari tidur cantiknya. Berjalan sepelan mungkin agar tidak membangunkan putri cantiknya. Sebenarnya, ia sedikit merasa penasaran melihat Ethan yang menatap dingin bunga-bunga dihadapannya. Anak itu memang harus selalu diperhatikan. Jika tidak, akan terjadi malapekata. Melihat, darah Devon mengalir deras dalam tubuhnya.
"What's bothering you, Ethan?" Tanyanya dengan sedikit bingung. Ia juga bingung dengan anak ini, suka sekali menyendiri.
Ethan mendesah pelan. "Aku tidak mengerti mengapa Emily sangat menyukainya. Uncle, tidak ada laki-laki baik yang mendatangi wanita yang sudah beristri saat suaminya bekerja kan?"
Aiken paham, orang-orang mungkin akan bingung dengan pemikiran Ethan yang sangat dewasa. Anak itu sudah bisa berfikir, bertindak sebagimana bukan seseorang seusianya. Ia juga jadi anak paling pintar disekolahnya. Kepintaran Devon ternyata menurun pada Ethan.
"Did uncle have to kill him, boy?" Tawarnya untuk mencoba bernegoisasi. Ia rasa menghalangi Ethan juga akan sia-sia, jati diri seseorang akan muncul dengan sendirinya walau ditutupi dengan apapun.
Ethan menyengit, "Uncle akan membunuhnya? Apakah itu boleh?" Tanya pria kecil itu heran.
Aiken mengangguk, tangannya menepuk pelan pundak Ethan. "Tentu, kita harus mencegah sebelum kerusakan terjadi. Sebuah kuman, akan jauh lebih berkembang jika kita tidak menghalanginya terlebih dahulu. Jika dia bisa jadi perusak, kita harus bisa jadi pembunuh."
Mata Ethan menerjap pelan, merasa mulai mengerti. "Kalau begitu Uncle harus membantuku, aku tidak perduli apa yang akan uncle lakukan padanya. Setidaknya, dia harus menyingkir dari kehidupan kami selamanya."
"Goodjob boy. Aku suka cara berfikirmu. Tapi ketika kamu dewasa nanti, kamu tidak harus selalu berfikir. Terkadang, kita butuh suatu tindakan,"
Ethan mengangguk pelan walau ia masih tidak mengerti. Kata-kata Aiken sangat memusingkan.
Aiken menepuk pelan bayi kecil dipelukannya, mungkin sedikit terusik dengan suara mereka yang agak keras. Tapi untung saja, bayi itu hanya menerjap pelan lalu tertidur kembali.
Tatapan matanya menajam melihat sorot mata Ethan yang tak lepas dari bayi kecilnya. Ia tidak bodoh, ia tau arti sorot mata itu. Anak Devon ini memang minta dibunuh, ia tau seperti apa kehidupan putrinya jika Ethan sudah mulai tertarik padanya. Benar-benar tidak bisa dibiarkan.
Apakah ia harus membunuh Ethan lebih dulu, agar kehidupan putrinya terjamin?
Apa mungkin setelah itu Devon mungkin akan membunuhnya terlebih dahulu. Mengingat, betapa gilanya pria itu.
Ah, ia mulai gila rasanya mengingat anak dan ayah itu.
Aiken berdehem pelan, tapi tak sama sekali bisa menyadarkan Ethan dari tatapan itu keputrinya. "Ethan, maaf. Uncle harus membawa Sera masuk, udara disini sangat dingin."
Ethan menatapnya dingin. "Uncle harus tetap Disni,"
"Ethan dengar—"
"Uncle mencoba menjauhkannya dariku? Mengapa uncle menghalangiku?"
"Ethan! Aku tau arti dari tatapanmu!" Ucapnya dengan penuh emosi.
Ethan menyengit bingung, "Memangnya apa arti dari tatapanku?
Aku hanya terkesan dengan kecantikan bayimu, kenapa uncle berfikir hal yang lain? Menurutku. Sepertinya, melebihi aku. Uncle lebih tau semua tentangku,"Aiken mendengus pelan, "Aku mengerti dan aku paham benar. Ethan, sorot mata itu menunjukkan kamu menganggapnya lebih dari itu!"
Ethan berjalan mendekat dengan sorot dinginnya, "Kamu lebih tau, kalau begitu aku harus bagaimana. Uncle?"
"Ethan!" Seru Aiken setengah berteriak.
"Ada apa ini? Kenapa Lo berteriak didepan anak gue lan!" Tanya devon sambil menarik Ethan kebelakang. Arah matanya menatap Aiken tajam, merasa tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu.
Aiken menghela nafas pelan. "Tanyakan kepada anakmu. Mengapa dia terus menatap putriku seperti mangsanya. Dev, you know. Tatapan seperti itu hanya dimiliki orang-orang seperti kita, dan kita tau jelas arti itu," balasnya tak kalah dingin.
"Ethan, apa itu benar?"
"Papa percaya pada uncle? Aku tidak pernah melakukan itu,"
"See? Lo lihat kan? Ethan bilang dia gak pernah melakukan itu. Lo aja yang terlalu posesif sama anak Lo lan. Ayolah, mereka bisa berteman kan?"
"Lagipula, kalo memang itu benar. Gue rasa gak masalah, lagipula bukan anak gue yang salah. Salahin aja anak Lo, masih bayi udah bikin orang tertarik. kalo dia gak centil, anak gue gak mungkin suka." Ujarnya dengan enteng.
Aiken memutar bola matanya bosan, ayah dan anak ini sama saja. "Dia bahkan belum bisa berbicara, gak perlu cari pembenaran dari tingkah laku anak Lo! Titisan Lo emang gada yang bener,"
Devon mendengus pelan.
"Gue kasih tau nih ya, dari pada masalah ini. Ada masalah yang jauh lebih serius, ini menyangkut hidup dan mati Lo,"
Devon memandangnya penasaran.
"Tuh, sikuman datang lagi. Kali ini dengan orangtuanya, mau ngelamar istri Lo kali." Ujar Aiken dengan nada mengejek.
"Sialan Lo! Kenapa ga ngomong dari tadi! Akhh sial!!" Serunya kuat-kuat. Langkah kakinya pergi, diikuti oleh Aiken dibelakangnya.
Tapi tanpa mereka sadari, Ethan dengan jelas tak bergerak sedikitpun dari taman itu. Sorot matanya menatap dingin bayi mungil yang beranjak pergi dari hadapannya. Mata hijau itu memabukkan. Rambut pirangnya sangat mempesona walaupun belum tumbuh dengan sempurna. Tak ada yang bayi itu lakukan selain tertidur, tapi bagi Ethan itu sangat menarik.
Suatu saat, ia berjanji. Akan merengkuh tubuh mungil itu dalam pelukannya. Akan membatasi ruang geraknya. Akan ikut tumbuh hanya dengannya. Hanya akan menatapnya.
Hanya akan dilahirkan untuk ditakdirkan dengannya. "Sera..," ucapnya dengan bibir tertarik.Komen yang banyak kalo mau ExtChap2!!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadistic Of Love [Sudah Terbit Di Ebook!]
Romance"Salahkan takdir yang mengikat dia denganku." Adara tidak menyangka tindakan kecilnya akan mengubah nyaris di keseluruhan hidupnya. Masuk ke kehidupan pria itu tidak pernah ia bayangkan akan sesakit ini. Namun meninggalkannya pun ia tidak sanggup. T...