Tidak banyak yang bisa Adara lakukan selain menangis, menjerit, berteriak sekuat mungkin. Karna pada dasarnya tak ada satupun yang perduli. Gadis yang baru berusia tujuh belas tahun itu tak ada henti-hentinya meronta, banyak hal yang gadis itu pikirkan. Sargas, adiknya, Harry. Dan yang paling malang adalah nasibnya sendiri.
Mobil itu terus berlaju diikuti empat mobil lain dibelakangnya. Adara tidak mengerti, jika memang ia hanya mainan, mengapa Devon memperlakukannya seperti ini. Ia tidak mau bodoh seperti dulu yang hanya menaati Devon atas dasar cinta. Ia bahkan tak yakin perasaan yang sering pria itu banggakan adalah cinta. Tidak, itu bukan cinta sama sekali.
Batinnya bergejolak ketika tau ia akan kembali ketempat itu, tempat dimana mentalnya hancur dalam seketika. Tempat dimana ia mempercayai Devon bak orang bodoh yang menunggu kepastian yang ntah kapan datangnya. Tempat dimana hatinya hancur dalam seketika.
Devon mengecup pelan kepalanya, lalu turun mendekati telinga gadisnya. "Jangan berfikir kamu bisa kabur setelah ini Adara. Kalo berani mencoba, you die." Bisiknya pelan.
Adara mengendurkan rontaannya. Gadis itu menatapnya datar. "Bahkan matipun rasanya lebih baik bagiku daripada harus hidup denganmu, kak."
Devon tersenyum menyeringai. "Jika kamu mau tau, Kematian pun tak bisa melepaskanmu dariku, itu bukan perkara yang sulit untuk ikut mati denganmu."
Adara menggeleng, Gadis itu menangis sambil tertawa pelan. Ia mulai gila rasanya. "Rasanya mau gila jika harus membayangkan semua itu kak, ini hubungan tidak masuk akal. Diluaran sana, Adara bisa jamin tidak ada satu orangpun yang memiliki hubungan serumit ini, kamu gila! Kamu tidak waras! Kamu bajingan yang berkedok manusia!"
Devon menggeleng menolak, "No, You can't give that nickname before I show the real me, it's not much."
Devon menarik tangannya kuat seakan ingin menunjukkan pada Adara, apa saja yang telah gadis itu lewatkan kala meninggalkannya begitu saja. Ia ingin membuat perhitungan dengan gadis ini jikalau nanti dia punya niatan untuk berlari meninggalkan lagi. Ia ingin menunjukkan betapa gilanya ia bila belahan jiwanya pergi, menghilang tanpa pamit begitu saja.
Adara ikut berjalan dengannya sambil terjatuh-jatuh. Tapi seakan pria itu tak perduli, cengkraman tangannya tak mengendur sama sekali. "Show time." Ucapnya dengan gembira ketika ia berhasil membuka pintu depan villanya.
Adara terduduk dengan hati yang sudah tak terbentuk. Dihadapannya ada beberapa kepala tebasan katana yang ia ketahui diantaranya beberapa penjaga villa ini. Para pelayan perempuan masih dibiarkan hidup tapi masih terus dicambuk sampai saat ini, tak ada teriakan apapun, hanya hening. Mereka hanya bisa menunjukkan wajah datar mereka. Ada darah berceceran dimana-mana, tak ada sedikitpun suara pada ruangan itu, hanya ada tangisan Adara seorang.
Adara tak pernah menyangka, bahwa tindakan bodohnya bisa sampai berakibat seperti ini. Dalam sekelebat tangisannya ia bisa melihat Aiken yang tengah terduduk santai pada soffa kegemarannya. Namun kali ini tidak dengan wajah jahil pria itu, hanya ada tatapan datar yang mengarah kepadanya.
"Mengapa mereka belum mati,?" Tanya Devon menatap para pelayan wanitanya.
"Mereka akan menyusul dalam dua jam kedepan." Ucap Aiken datar.
Devon menatap Aiken tajam. "Tidak perlu belas kasihan, bakar tubuh para pelayan bodoh ini jika perlu."
Aiken melirik Adara datar, terkekeh sinis kemudian. "Perlu gue bunuh sekarang juga? Adara akhir-akhir ini lagi suka pertunjukan kayaknya."
"Kakak bisa ikut sertakan Adara juga bila perlu,"
"Jangan sok menjadi korban disaat kamu adalah pelaku utamanya. Pikiranmu keliru Adara, kamu pembunuh sebenarnya disini."
Devon menatap Aiken tajam. "Jangan ikut sertakan gadisku! Berhenti menyalahkannya! Gue gak minta lo untuk menonjokkannya seperti itu lan!"
Pria itu memutarkan bola matanya malas, lagi-lagi ia selalu disalahkan. "Kalau begitu ajarkan gadismu untuk membuat keputusan secara benar, jangan sampai satu sikapnya berakibat untuk orang lain juga. Aku benci mengotori tanganku untuk orang tidak bersalah."
Tak menjawab segala penjelasan Aiken, Devon mulai menyeret Adara kuat, diikuti dengan keterdiaman gadis itu. Jiwa raganya bak sudah hilang, otak warasnya ntah pergi kemana. Tak ada satupun yang bisa ia percaya, semua kejadian ini bagai dongeng untuknya. Tapi lagi-lagi ia disadarkan oleh kenyataan. Kenyataan dimana ini benar-benar terjadi, dan tak ada satupun orang yang berpihak padanya.
Gadis itu mulai sadar ketika mulai berada di kamarnya. Kamar yang tidak ia pikirkan akan ditinggali kembali.
Devon mengelus pipi pucat Adara, sedikit ada rasa khawatir mencubit hatinya. "Berhenti melamun," ucapnya mencubit pipi gadis itu pelan.
Melihat tak ada reaksi apapun dari gadisnya Devon tersenyum. "Lihat sayang, kita sudah kembali. Kita akan mulai dari awal, tidak ada pengganggu lagi. Semuanya sudah aku pastikan baik-baik saja."
"Mengapa harus sampai seperti ini?" Tanya Adara dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tidak berfikir untuk melihat semua mayat itu. Adara tidak pernah melibatkan mereka semua. Mengapa kita harus seperti ini kak! Kenapa Hah!!" Teriak gadis itu kuat. Masih dengan air mata yang mengalir.
Devon tersenyum masih dengan mengelus pelan wajah pucatnya, "Cintaku memang seperti ini Adara, Aku tidak mencintai dengan cara yang bisa. Aku tidak mempertahankan gadisku dengan cara yang biasa. Aku tidak menunjukkan perasaanku dengan cara yang biasa. Maka dari itu, Berhenti main-main dengan pria ini Adara,"
"Berhenti mengecoh pria ini, atau kamu akan melihat hal lebih gila dari semua ini. Jadi gadis yang baik, ingat. Semua nasib mereka bergantung pada sikapmu."
Devon mengecup pelan keningnya, sedangkan Adara diam bak patung. "Tidur. Istirahatlah, persiapkan dirimu untuk pertunangan kita lusa,"
Adara menatap Devon tak percaya. Pria itu memutuskan semuanya secara sepihak, seakan hatinya tak diperlukan disini. Gadis itu bahkan tak mengetahui nasib orangtuanya, bagaimana keadaannya. Dan bagaimana bisa Devon membuat mereka bungkam akan keadaan anak mereka selama ini. Pria dihadapannya ini benar-benar gila, dan ia baru menyadarinya sekarang.
Tangannya dengan pelan menghapus air mata Adara yang lagi-lagi mengalir dengan sendirinya. "Simpan air matamu untuk pertunangan kita lusa. karna saat itu, tidak akan ada yang melarangmu untuk menangis,"
Disaat kata-kata itu terucap, Devon pergi dengan sendirinya. Meninggalkan Adara dengan segala kehancurannya.
Makan malam pun dimulai, seluruh ruangan telah bersih tanpa adanya darah sama sekali. Ruangan yang tadinya seperti ruangan penyiksaan berubah menjadi istana impian. Meski sudah memaafkan, nyatanya Devon tak mengendurkan peraturannya sama sekali. Pria itu bahkan tak membiarkan Adara keruang tamu untuk sekedar makan malam, ia tak mau kecolongan lagi.
Bahkan dengan tak keberatan sama sekali pria itu yang mengantarkan makan malam gadisnya. Sekali lagi ia ingin melihat, apa yang sedang dilakukan pujaan hatinya itu.
Dengan hati-hati ia mulai membuka pintu kamar Adara, berharap gadis itu tak mendengar langkah kakinya. Namun ruangan yang kosong lagi-lagi mengagetkannya, jantungnya berdetak dengan kencang. Mulai berlari mengitari kamar, mencari keberadaan Adara.
Nihil, Adara tak berada dimanapun. Sudah semua ruangan ia jelajahi tapi tetap tak menemukan gadis itu. Arah matanya melirik kearah balkon yang jika dilihat akan berhubungan langsung dengan area kolam renangnya, Devon menggeleng pelan. Tidak mungkin kan?
Dengan nafas agak kasar pria itu berlari kearah balkon. Melihat dengan cepat kearah bawah untuk memastikan sesuatu, dan benar saja. Disana, ada Adara yang terbujur kaku dengan darah segar menghiasi tubuhnya.
Lanjut apa ngga nih?
120 vote for next💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadistic Of Love [Sudah Terbit Di Ebook!]
Romance"Salahkan takdir yang mengikat dia denganku." Adara tidak menyangka tindakan kecilnya akan mengubah nyaris di keseluruhan hidupnya. Masuk ke kehidupan pria itu tidak pernah ia bayangkan akan sesakit ini. Namun meninggalkannya pun ia tidak sanggup. T...