Tubuh wanita itu penuh dengan ceceran darah. Kulit kepalanya terkoyak-koyak. Hanya bersisa tatapan memohon dari bibirnya yang kelu. Menatap benci kerah pria yang tengah tersenyum puas kerahnya. Tenaga dan jeritannya sudah habis. Tak ada lagi gunanya.
"You are bitch, right?" Ucap pria itu terkekeh sinis.
Wanita itu menggeleng. Menolak untuk mengakui—walau sebenarnya yang pria itu katakan adalah kebenaran. Serendah apapun dirinya ia tidak akan mau untuk mengakui itu. Apalagi harus mendapatkan siksaan seperti ini. Benar-benar sialan.
"Brengsek!" Umpatnya ketika pria itu nyaris memotong pergelangan tangannya. Nyawanya nyaris diujung tanduk dan pria itu masih bermain-main pada tubuhnya.
Wanita yang tidak ia kenal namanya itu memejamkan matanya. Tak punya tenaga untuk berteriak lagi. Hatinya berdoa agar siksaan ini benar-benar usai. Ia tak tahan lagi. " Kumohon, bunuh saja aku..,"
Aiken menyeringai. "Tidak semudah itu bicth. Kau sudah berani menyentuh tubuhku tadi. Dan ini balasan untuk perbuatanmu." Ucapnya sambil membuat pergelangan tangan gadis itu benar-benar terlepas tadi tubuhnya.
"Kau mau main kan?" Aiken terkekeh. "Daripada mendesah, aku lebih suka permainan berdarah. Kau juga menyukainya kan?"
Wanita itu tidak menjawab pria gila dihadapannya. Matanya memejam untuk menikmati sisa-sisa akhir hidupnya. Sungguh, ia tak pernah mengira akan jadi seperti ini. Kali ini ia benar-benar salah target.
"Semua wanita yang bermain denganku hanya berani main untuk sekali. Padahal aku sangat menyukai permainan seperti ini. Katakan, apa yang harus aku lakukan agar bisa bermain tanpa mereka yang berakhir dengan kematian."
Aiken menyengit bingung. "Aku benar-benar tidak tau, Dimana salahku. Mereka berhenti meskipun permainan belum usai."
"Terserahmu, bastard!" Umpatnya dengan nafas terakhir.
Aiken terkekeh sinis."masih berani mulut busukku ini mengumpatiku heh?"
"Sialan mulutmu benar-benar bau." Ujarnya sambil menampar wanita itu sesekali.
Jemarinya dengan perlahan mengambil cutter tajam dari balik jaket hitamnya. Memegang kuat kepala gadis itu kemudian meludahinya sesekali. Dari ujung wajahnya ia tarik kasar perlahan cutter itu berlawanan arah hingga membentuk huruf X jelas diseluruh wajahnya. Membuat wanita dibawahnya berteriak kesakitan untuk yang terakhir kali.
Aiken berdiri. Membuang kasar jaket hitam yang sedari tadi ia kenakan. Menyisakan kaus putih polosnya. Ia pikir sangat menjijikkan jika darah wanita penghibur itu mengenai dibeberapa titik kaus polosnya.
Pria itu menatap wanita dibawahnya dengan pandangan remeh. Menendang tubuh itu dengan jijik. Memastikan apakah wanita itu benar-benar mati atau belum.
"Cih, aku benar-benar benci wanita."
Arah matanya tak sengaja beradu pandang degan sesosok gadis yang ntah ada sejak kapan sedari tadi. Ia tak pernah menyadari. Mata teduh itu menatapnya terkejud dan agak—takut. Tidak, gadis itu terlihat sangat takut. Terbukti dari tubuhnya yang berjalan mundur untuk segera lari menjauhinya.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ia segera mengejar gadis itu. Bukan, jika kalian pikir ia tertarik kalian salah besar. Ia hanya benci meninggalkan bukti yang akan menyulitkannya nanti.
Tertangkap! Dasar gadis bodoh. Punya dua kaki tapi sangat payah dalam berlari. Kaki kecilnya bahkan seperti berjalan ditempat sedari tadi.
Ia tarik rambut gadis itu kuat. Namun sedikit heran, gadis ini tidak berteriak sama sekali. Benar-benar gadis aneh pikirnya.
Aiken mencengangkan leher gadis itu dari belakang dengan tubuh setengah memeluknya. Menghirup wangi gadis itu yang begitu memabukkan. Astaga, kepalanya tiba-tiba saja pusing.
"Tolong—," serunya pelan.
Aiken terkekeh, "kuberi kau kesempatan untuk berteriak tadi. Tapi kau tidak mengeluarkan kata apapun, kupikir kau bisu tadi."
Alana memejamkan mata, lehernya terasa begitu sesak. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk melihatmu. Aku bersumpah tidak akan mengatakan kepada siapapun."
"Benar begitu?" Aiken menyeringai, semakin mendekatkan wajahnya pada leher jenjang tawanannya. "Sayangnya aku tidak percaya gadis manis."
"Kau sangat wangi."
"Juga sangat cantik,"
"Tapi sayang. Sebentar lagi wajahmu akan segera rusak dengan pisau lipatku. Sayang sekali bukan?"
Alana memejamkan mata, tak berani menjawab. Salah ucapan sedikit saja akan berpengaruh pada nyawanya.
Aiken semakin menguatkan cengkraman pada leher gadis itu. Membuat alana ikut berjinjit untuk mengimbangi tubuhnya. "Kau bukan jalang ya? " Tanya Aiken santai.
"Kau memakai seragam sekolah—untuk apa kau datang ke tempat malam. Mau daftar?" Tanyanya menghina.
Aiken menganguk pelan. "Kuakui tubuhmu cukup bagus."
"Tolong lepaskan—aku," ucap Alana terbata. Tak dapat lagi menahan rasa sakitnya.
Pria itu menggeleng sambil mengecutkan wajahnya. "Tidak-tidak. Aku tidak bisa menjamin kau tidak mengadu pada siapapun. Mulut wanita itu berbisa, aku paham benar."
Alana pasrah, benar-benar pasrah dengan apa yang akan dilakukan pria itu selanjutnya. Tubuhnya jatuh kebawah karna tidak bisa lagi mengimbangi bobot tubuhnya. Nafasnya sesak, ia tidak bisa bertahan. Pandangan matanya mendadak buram.
Aiken mengeluarkan cutter kecil dari celana panjang sambil setengah terduduk. Bisa ia lihat, gadis itu sudah kehabisan tenaga.
Satu goresan dengan sayatan rendah. Darah mulai membanjiri tubuh gadis itu. Tangannya terhenti. Agak kaget melihat darah yang membanjiri tubuh ringkih itu. Ia pun agak heran dengan respon tubuhnya. Sudah terlalau banyak ia menghabisi nyawa seseorang. Dan ini pertama kalinya tangannya terhenti seketika.
Aiken bingung dengan reaksi tubuhnya. Ia menyakiti wanita tidak berdosa. Untuk pertama kalinya.
Dengan cepat ia menggendong gadis itu. Gadis yang tidak ia ketahui asal-usulnya. Gadis uang tidak ia ketahui siapa namanya. Gadis aneh yang sangat lambat dalam berlari. Untuk pertama kalinya— ia membawa manusia hidup kedalam kediaman pribadinya.
Ini kisah pertemuan Aiken&Alana ya.😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadistic Of Love [Sudah Terbit Di Ebook!]
Romansa"Salahkan takdir yang mengikat dia denganku." Adara tidak menyangka tindakan kecilnya akan mengubah nyaris di keseluruhan hidupnya. Masuk ke kehidupan pria itu tidak pernah ia bayangkan akan sesakit ini. Namun meninggalkannya pun ia tidak sanggup. T...