Part 4

576 113 8
                                    


"Ustadzah Biya! Anak asuh Anda butuh didisiplinkan!" kata Uka setengah berteriak.

Seorang wanita dengan seragam batik berlogo pesantren Nurul Ilmi tergopoh-gopoh. Ia segera menggiring santriwatinya ke ruang konseling.

"Sudah saya peringatkan. Kenapa tidak hati-hati?" tegur Ustadzah Biya pada santriwati yang menabrak Uka hingga hampir terjatuh.

"Afwan, Ustadzah."

Uka sedikit melirik si pelanggar, senyum miring tercetak di wajah sang pemuda.

"Gus, tolong pegangin ini ya?" pinta Ali, pemuda yang tengah membetulkan kabel CCTV di dekat Aula putri.

Uka mengangguk dan menerima sekotak perkakas berisi kunci besi dan obeng.

"Kalau sama akhwat, jangan sadis-sadis. Di kalangan santri putri, kamu tuh punya julukan GGS loh," kata Ustadz Rizal, yang ikut membantu perbaikan instalasi.

"Apa itu?"

"Kalau Kang Ubay, julukannya Gus Ganteng Soleh. Kalau kamu, Gus Ganteng Sadis."

Uka justru terkekeh pelan. Ia malah bangga dengan julukan itu. Dipandang buruk, justru membuat Uka senang, karena ia tak perlu repot pencitraan dan selalu menjaga attitude hanya demi penilaian orang.

"Hidup cuma sekali, ngapain dibawa pusing. Motto hidupku itu, Surah Al An'am 162,

"قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ"
K

atakanlah sesungguhnya shalatku, sembelihanku, kehidupanku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam."

Ustadz Rizal, Ali, dan Khalid terkekeh mendengar jawaban Uka. Bagi Uka, dibenci akhwat, justru berarti surga. Karena, ia tak perlu repot membentengi diri. Tak seperti sang kakak, Ubay, yang menjadi incaran para ukhti karena keramahan dan ketampanannya.

"Seneng dibenci semua ukhti? Termasuk Almira?"

Pertanyaan Khalid membuat Uka menaikkan satu alisnya.

"Dia itu nun sukun sedang aku tanwin. Selalu jadi satu kesatuan, bersanding dalam beberapa hukum tajwid."

"Bersanding nggak tuh?" ledek Khalid.

Tawa terdengar dari beberapa orang di sana, Uka tersenyum miring sembari membenahi pecinya.

"Kompleks putri nyaman sekali ya ternyata."

Ucapan dari pria paruh baya bersorban terdengar. Seketika semua terdiam dan tak ada lagi suara terdengar. Mereka segera menyelesaikan tugas tanpa kata. Ustadz Kafaby, berhasil membungkam mereka tanpa perlu ceramah panjang.

"Jangan asal sembarang bicara. Kamu itu panutan di sini."

"Abah, Uka nggak bercanda. Uka berdoa. Memangnya salah kalau Uka mengungkap apa yang Uka pikirkan?"

"Sekolahmu belum selesai. Itu fokus utamamu. Kewajibanmu."

"Tholabul 'ilmi memang penting. Tapi, menikah juga menyempurnakan separuh agama, bukan begitu Bah?"

Sebuah buku mendarat di kepala Uka.

"Tempat wudu putra nungguin, minta dibersihin." Ubay, menyela percakapan antara ayah dan adiknya. Mencegah keributan, lebih tepatnya. Ya, Uka dan sang ayah jika sudah beradu argumen, bisa berujung tak baik.

Ubay sering tak habis pikir tentang adik keempatnya itu. Sering sekali, Uka seolah menguji kesabaran sang ayah. Membolak-balik perkataan sang ayah sampai ia puas. Jika sudah begitu, pada akhirnya Uka akan dihukum. Namun, tak pernah sekalipun ia jera.

Sejelas Idzhar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang