"Al ... Almira!"
Si empunya nama membuka mata perlahan, menggumamkan doa sejenak, sebelum mengubah posisi.
"Ayahmu datang."
Kabar dari Aina membuat gadis yang tengah kurang sehat itu seketika tersenyum lebar. Ia segera mencuci muka, berganti baju, dan berlari ke arah taman santri putri. Sosok pria tinggi tegap dengan hidung mancung dan kulit putih, duduk di sana sembari berbincang dengan dua orang pemuda yang tengah memasang sesuatu di salah satu pohon.
"Ayah!"
"Putri cantik Ayah."
Pria itu merentangkan tangannya dan membiarkan sang putri melompat ke pelukan. Mendekapnya erat sebelum menghujani ciuman di kening dan pipi.
"Kesayangan Ayah," ucap sang pria sembari menatap lekat manik replika dirinya.
"Ayah, kok Ayah panas sih?"
Pria itu menuntun putrinya ke salah satu bangku taman.
"Ayah agak flu, lembur terus."
Almira mengerucutkan bibir. Ia selalu cerewet pada ayahnya jika sudah menyangkut kesehatan.
"Ayah, Ayah itu kerjanya apa sih? Kenapa bisa Ayah nyembuhin orang, tapi Ayah sendiri sakit!"
Protes sang putri membuat Ammar terkekeh. Ia menarik tubuh putrinya kembali ke pelukannya.
"Kemarin, teman ayah banyak yang cuti. Jadi, ayah gantiin shift mereka. Sekarang, gantian ayah yang cuti. Biar bisa puas ketemu putri ayah."
Ucapan sang ayah membuat Almira terharu. Sejujurnya ia sangat merindukan sosok ayahnya. Orang tua satu-satunya yang ia punya.
"Ayah mau ngajak kamu jalan-jalan. Kamu mau?"
"Nggak mau," jawab Almira cepat.
Ammar terkejut dengan jawaban putrinya.
"Nggak mau nolak," ralat Almira.
Pria itu seketika tersenyum lega dan mencubit pipi putrinya.
"Kamu kok matanya kayak bengkak?"
Suara percakapan dua pemuda yang tadi berbicara dengan ayahnya membuat Almira menoleh, sebelum menjawab pertanyaan sang ayah.
"Aku dua hari nggak tidur, Yah. Disuruh nyalin kitab. Eh iya Yah, masak ada yang bilang aku kayak kecoa sih, Yah."
Almira segera mengeraskan suaranya, agar pemuda yang tengah memanjat tangga tak jauh darinya mendengar. Rahang Ammar seketika mengeras, alisnya tertaut, suaranya keras menunjukkan keterkejutan.
"Siapa yang ngatain anak Ayah kecoa?! Sini, biar Ayah patahin kakinya."
Suara benda terjatuh terdengar.
"Astagfirullah! Gus!" teriak Ali saat Uka tiba-tiba terjatuh dan tertimpa tangga.
Definisi asli, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Bagaimana tidak? Ia kehilangan fokus karena mencuri dengar pembicaraan antara Almira dan Ammar. Uka takut jika Almira mengadu, diusili olehnya, pada sang ayah.
Ammar beranjak dari bangku dan ikut membantu Uka berdiri. Pemuda itu berterima kasih.
"Makanya, lain kali kalau manjat pakai celana, Gus. Nggak pake sarung."
Ledekan Almira membuat Uka hanya bisa menelan ludah. Malu? Tentu, tapi apa boleh buat.
"Kasihan, Yah. Beliin Gus Uka celana, kasihan, nggak pernah pake celana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.