Long shift yang menyita waktu dan tenaga pria berusia dua puluh delapan tahun itu tak membuatnya mengurungkan niat untuk menemui orang yang mengusik pikirannya seminggu ini. Tak ada kabar sama sekali di ponselnya. Padahal, ia berharap pesannya tempo hari dibalas.
"Aku harus ketemu Almira."
Mobil keluaran jepang berwarna hitam meluncur membelah jalanan kota Solo. Sesekali pria itu terbatuk. Ia sebenarnya merasakan tubuhnya sedang tak sehat.
Ya bagaimana tidak, ia tengah disibukkan dengan kuliah, sembari bekerja di salah satu rumah sakit. Waktunya benar-benar terkuras habis. Tidur tiga jam sehari, sudah menjadi karunia untuknya selama dua bulan terakhir.
Ia mencoba menelpon ke nomor Almira, tapi tak lagi dapat tersambung.
"Apa hapenya kesita ya?" Monolog Hasbi.
Ia memutar otak, mencari cara agar bisa bertemu dengan Almira. Ada beberapa hal penting yang perlu ia bicarakan. Namun, tentu saja ia tak bisa menemui Almira begitu saja. Status mereka sebagai saudara tiri tak membuat pihak pesantren dengan mudah mengijinkan Almira bertemu dengan Hasbi.
Kemarin, Hasbi sudah mencoba hal itu, dan gagal. Tak ada kartu wali santri, yang menyatakan jika dia adalah keluarga sang santriwati dan bisa membuatnya bertemu dengan Almira.
Akhirnya, sosok wanita sepuh yang telah berusia tujuh puluh delapan tahun itu yang menjadi senjatanya. Ya, ia mengajak nenek Almira ikut serta. Membuatnya dipersilakan masuk melewati gerbang nan tinggi yang membelenggu Almira selama hampir dua belas tahun ini.
Beberapa hadiah sudah dipersiapkan Hasbi untuk adik tirinya.
"Eyang!"
Seorang gadis berseragam putih abu-abu berlari mendekat dan memeluk wanita berjilbab yang tengah duduk di bangku taman santri putri.
"Cucuku kesayanganku! Hafidzah kebanggaanku."
Suara parau keluar dari wanita berparas ayu meski sudah dipenuhi kerut di kulitnya. Almira tersenyum senang sembari menciumi pipi neneknya.
"Hafidzah?"
Satu kata diucap Hasbi dengan nada setengah bertanya. Setahu dia, nama Almira bukan Hafidzah.
"Namamu Almira Hafidzah?"
Almira terkekeh mendengar pertanyaan Hasbi. Kemudian ia menggeleng.
"Almira Aisyah, namaku. Kalau Hafidzah, cari aja di internet, Kak, apa artinya."
Hasbi diam-diam mengutak atik ponselnya, sementara Almira mengobrol dengan sang nenek.
"Ayahmu janjinya mau datang lagi besok pas kamu libur. Dulu itu datang sama Gus, Eyang diajak jalan-jalan. Nyekar Kakung sama Ummimu."
"Gus?"
Almira tahu betul, yang dimaksud sang nenek adalah Uka.
"Iya, dia minta pangestu. Mau tindak tholabul 'ilmi. Pas mau berangkat juga mampir, bawa oleh-oleh banyak."
Senyum tersungging di bibir Almira. Ada debar di hatinya. Uka ternyata masih sangat perhatian dengan nenek Almira.
"Gus janji mau ngajak Eyang umroh lagi."
Kenangan masa lalu sontak menyeruak. Kala itu, Uka yang memiliki satu paket umroh gratis hadiah lomba pidato bahasa arabnya, saat MTS, memberikan hadiah itu pada nenek Almira.
"Eyangmu pengen umroh kan? Gimana kalau aku kasih hadiahku buat Eyang aja ya? Lagian aku baru habis pulang umroh sama keluargaku."
Di kala itu Almira kecil tentu bersorak riang karena impian sang nenek diwujudkan oleh Uka. Beruntung, Ummah Hana dan Ustadz Kafaby juga mengijinkan sang putra mengibahkan hadiahnya pada orang lain. Mengingat, Rohmah, nenek Almira adalah salah satu loyalis di pesantren Nurul Ilmi ketika Kyai Maulana Malik Ibrahim tengah merintis berdirinya pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.