Hoodie abu-abu dengan sentuhan pink di beberapa sisi itu kembali membalut tubuh Almira. Semerbak aroma parfum maskulin tercium.
"Mbak, aku nggak tahan lagi deh buat nggak kepo. Kenapa sih Mbak kalau tidur pakai itu? Trus kenapa tetep pake jilbab selama tidur? Dan lagi, kok bau parfum cowok?"
Almira yang sedang sibuk menulis buku harian menoleh. Ia menggeser letak bantal yang ia jadikan tumpuan untuk menulis. Kurva lengkung di wajah tirus berkulit putih kemerahan, perlahan naik.
"Pertanyaan pertama jawabannya, jaket ini bikin anget. Nomor dua, karena terbiasa memang tidur pakai jilbab atau mukena. Ketiga, ini ... aku suka scent-nya. Nggak ada salahnya kan cewek suka parfum maskulin."
Christy menyunggingkan senyum sembari berdecih.
"Pake sok sokan bilang maskulin. Mas Uka padahal kan maksudnya?"
Almira menelan ludah.
"Awas loh, zina terselubung. Katanya nggak boleh kan membayangkan lawan jenis yang belum halal. Mbak Al ih, zina pikiran."
Sontak, Almira seperti tengah ditampar dan dipermalukan. Ia terbuai dengan rasa yang mengungkungnya, atas Uka. Meski bibirnya menyangkal, meski raga mereka tak berdekatan, meski tak lagi bertukar kabar. Namun, ia masih selalu menghadirkan bayang sang pria. Memujanya dalam diam, menyebut namanya dengan begitu mesra penuh kerinduan.
Gejolak di hati Almira semakin menjadi. Zina. Ya, satu kata yang kini mencambuk logikanya. Bagaimana bisa dia terbuai rindu berbalut nafsu. Beberapa hari, ia mengenakan jaket itu. Sengaja membeli parfum yang mengingatkannya pada aroma yang selalu melekat di tubuh pria pujaan hatinya. Menjadikan teman tidur, seolah Uka tengah di sana, memeluknya sepanjang malam.
"Astagfirullahal'adzim."
"Mbak nggak sadar kalau udah zina?"
Ucapan santai Christy terdengar oleh laki-laki yang berdiri di ambang pintu.
"Jaga mulut kamu! Bisa-bisanya kamu bilang gitu ke Almira!"
Hasbi meringsek masuk dan siap menampar Christy. Kedua gadis itu sontak terkejut. Almira segera pasang badan dan tangan kokoh itu mendaratkan telapak di pipi sasaran yang salah.
Sangat keras, perih, hingga kulit sensitif milik Almira mencetak jelas gambar tangan kemerahan di sana. Christy meringkuk di balik punggung Almira.
Hasbi panik. Ia segera mengubah ekspresi dari marah menjadi bersalah dan khawatir.
"Sayang, maaf."
Reflek, ia memanggil adiknya dengan sebutan itu. Tangannya terulur mengelus pipi dari gadis yang ia tampar dengan begitu keras. Darah segar mengalir dari hidung yang tak begitu mancung. Tamparannya tadi memang sedikit meleset mengenai hidung Almira.
"Sayang, maafin aku."
Hasbi mulai berinisiatif melakukan skinship yang lebih. Namun, Almira mendorongnya.
"Jangan sentuh aku. Kalau kakak sayang aku, tolong, jaga jarak. Aku bukan mahram kakak yang halal untuk disentuh. Jangan nodai aku dengan hal sepele seperti ini."
Pria itu seolah ditembak di tempat oleh sang adik. Christy yang menyadari kakak tirinya mimisan langsung mencari tisu.
"Lu pergi dari sini! Gue emang masih bocah, tapi gue bisa nuntut lu, Bang. Pertama, lu masuk ke kamar cewek tanpa permisi. Kedua, lu udah mukul cewek sampai luka. Lu brengsek, Bang."
"Nggak usah bacot, lu. Elu yang mulai duluan. Lu yang ngatain Al zina!"
Almira mendorong dada Hasbi dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.