Part 13

477 91 26
                                    

15 derajat Celcius, penanda suhu di ponsel Hasbi memberi tahu si empunya, mengapa hawa di sana sangat dingin. Angin membuat gemerisik air telaga terdengar, menyambut para wisatawan.

Telaga Sarangan, tempatnya berpijak sekarang, adalah telaga alami yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dan terletak di lereng Gunung Lawu, tepat di perbatasan provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. Luasnya sekitar 30 hektare dan berkedalaman 28 meter, dengan suhu udara antara 15 hingga 20 derajat Celcius.

Meski sedingin itu, Hasbi tetap berusaha bertahan di sana, pasrah ketika diajak menaiki perahu, mengelilingi danau. Demi menjaga senyum gadis cantik pencuri hatinya.

Gadis yang kini tengah serius mengambil foto dari saudara tiri mereka, yang bergaya di salah satu sudut telaga.

"Dek, pindah sana. Di tangga tuh," ucap Almira.

Christy menuruti kata-kata Almira, demi konten sosial media, ia pasrah saat kakak tirinya memintanya berpindah lokasi dan berganti gaya. Ya, pelajar yang baru lulus SMP itu memang mengakui jika kakak tirinya sangat handal menggunakan kamera. Hasil jepretan Almira tak main-main, selalu estetik. Itulah kenapa si bungsu mau menuruti kakaknya.

Sembari menunggu dua adiknya berfoto, Hasbi diam-diam mengabadikan moment itu. Membidik si tukang foto yang tengah serius mengerjakan tugasnya. Hingga saat ia melihat, sesuatu mengincar Almira.

Makhluk berbulu hitam hampir saja melompat ke atas kepala Almira, dari pohon cemara yang berada di atas lokasi foto. Hasbi dengn sigap menarik Almira, hingga terjatuh di atas tubuhnya. Christy yang baru saja menanyakan hasil foto pada Almira pun ikut terkejut.

Ia seketika memaki primata liar yang mengganggu kakaknya. Ya, di sana memang banyak monyet liar berseliweran, dibebaskan di habitat aslinya. Kadang memang beberapa dari mereka mengusili para wisatawan, untuk sekedar meminta makan atau mungkin terarik dengan benda yang dibawa oleh para wisatawan.

"Mbak, Bang!" panggil Christy, memastikan dua kakaknya yang tengah tumpang tindih itu baik-baik saja.

Almira dan Hasbi sempat bertatapan.

"Kak, maaf."

Gadis berjilbab biru tua itu seketika merasa bersalah karena ia membuat kakaknya terjatuh. Bukan salahnya, tarikan tangan Hasbi sebenarnya yang membuat keduanya limbung dan terjatuh.

"Mas, Mbak, kenapa? Kaget sama monyet? Hati-hati ya, di sini suka pada usil."

Salah satu pedagang yang kebetulan tak jauh berada dari mereka menyela.

"I-iya, Bu. Monyetnya mau lompat ke adik saya. Makanya saya tarik dia, eh malah jatuh." Hasbi menjelaskan, sembari membersihkan jaketnya yang kotor. Beruntung, dia menggunakan jaket parka yang mudah dibersihkan.

"Oalah, adiknya? Kirain pacarnya. Bagus kalau gitu, di sini nggak boleh didatengin orang yang pacaran."

Keterangan si ibu penjual jagung bakar membuat ketiganya penasaran.

"Kok bisa, Bu? Kenapa memangnya?"

"Menurut cerita turun temurun, tempat ini seolah pantang didatangi orang yang pacaran. Pasangan kekasih yang sengaja datang ke sini buat pacaran, bisa putus. Nggak bakal bisa sampai nikah."

Penjelasan itu membuat ketiganya bergulat dengan pikiran masing-masing. Hasbi mengajak dua adiknya untuk kembali naik ke atas, ke penginapan mereka.

"Mbak, kenapa sih suka ada mitos-mitos gitu? Mbak percaya nggak?"

Almira menggeleng, sembari tersenyum. "Nggak percaya. Tapi Mbak menghargai mereka yang mempercayai khurafat itu."

Christy mengernyit. "Khurafat?"

Sejelas Idzhar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang