"Aku nggak fitnah Almira!"
Gadis itu berlari ke luar aula. Tak peduli beberapa orang menatap aneh padanya. Rasa kesal dan malu membuat Santi berpikir pendek. Pikirannya sekarang hanyalah ingin lenyap dari dunia ini. Kakinya menuntun si gadis ke arah menara masjid.
Ia berlari menaiki menara setinggi dua belas meter tersebut. Air mata mengalir di kedua pipinya.
"Santi! Kamu jahat! Kamu nggak pantes hidup! Kamu gila! Kamu udah ngerusak hidup Almira!"
Gadis itu berteriak pada dirinya sendiri ketika sampai di puncak menara. Ia melepaskan tas dan sepatunya, kemudian memanjat ke pagar pembatas.
Pikirannya sekarang adalah melompat dari sana dan mengakhiri semuanya.
"Hei! Kamu mau buang nyawa?!"
Santi menoleh. Ia terkejut ada orang lain di sana. Kekalutan sempat membutakan matanya, sampai tak sadar ada yang mengamati gerak-geriknya.
"Buang sisa makanan di piring saja kita tidak boleh. Kenapa kamu malah buang nyawa?"
Gadis yang belum sempat naik pagar tersebut melangkah mundur. Melihat orang asing dengan rahang tertutup berewok dan kumis tipis di atas bibir, membuatnya bersikap defensif.
"Ka-kamu siapa?"
Laki-laki itu semakin mendekat, ia berusaha menggiring Santi menjauh dari pinggir menara.
"Kamu siapa? Siapa itu Santi? Kenapa dia jahat dengan Almira?"
"Jangan mendekat!"
Santi memperingatkan sang lelaki karena dia sudah terpojok.
"Jawab pertanyaanku, siapa Santi? Kenapa dia jahat dengan Almira dan kenapa kamu yang bunuh diri?"
Gadis itu merosot, terduduk di lantai, memeluk lutut. Ia menangis sejadi-jadinya.
"Aku Santi ... Aku jahat pada Almira. Aku benci Almira sejak semua orang tahu kalau papaku kerja menjadi sopir ayahnya. Semua anak mengataiku anak pembantu. Semuanya mencibirku. Aku kesal sama Almira. Dia tahu hal itu tapi diam saja. Dia bilang jangan dengarkan kata orang. Bagaimana bisa aku nggak dengerin kata orang kalau kata-kata itu mengandung ejekan untuk orang tuaku?"
Santi meluapkan kekesalannya. Si lelaki memungut tas dan sepatu milik Santi.
"Kenapa tidak tabayyun? Jelaskan semuanya, klarifikasi. Jika kalian memang teman, sahabat, pasti bisa saling mengerti, kan? Bicara dari hati ke hati."
Santi tertawaa getir. Ia mengungkapkan betapa Almira tak peduli dengannya. Sibuk menjadi ujung tombak santriwati, mengikuti berbagai kegiatan sebagai perwakilan santriwati. Tak ada waktu untuk sekedar berbicara seperti di tahun-tahun pertama Santi di sini.
"Sudahlah. Sebelum semua terlambat, minta maaf saja. Aku yakin Almira akan memaafkanmu. Membuang hidupmu dengan perbuatan yang dilaknat Allah hanya akan menambah daftar hitam dalam dirimu. Sayang, kan, cantik-cantik, tapi nggak bersanding dengan para bidadari surga yang lain."
Lelaki itu memasangkan sepatu di kaki Santi. Gadis tadi beringsut. Risih dan takut, tentu kini menyelimutinya.
"Astagfirullah! Kalian kenapa ber-khalwat di sini!"
Petugas penjaga menara yang akan melakukan perbaikan pengeras suara memergoki Santi dan laki-laki itu berduaan. Dan kini, ia hanya bisa menelan ludah.
"Zina kok di menara masjid."
Sebuah kalimat yang masih terngiang di telinga Santi, menjadi balasan atas kekejamannya pada Almira selama ini. Ia segeraa berlari menuruni tangga dan berusaha menemui Almira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.