Tumpukan buku, serakan kertas, berbagai macam alat tulis tergeletak tak beraturan. Dara berjilbab putih menyandarkan kepalanya di atas meja. Hembusan AC di ruang perpustakaan, membuat rasa kantuk semakin menjadi."Pastiin dulu semua santri putri udah out. Baru gantian."
Instruksi diberikan Uka pada dua anak buahnya, Khalid dan Ali. Ketiga pemuda itu menyisir perpustakaan. Suasana sepertinya sudah sepi. Tak ada tanda-tanda santri putri di sana. Artinya setengah jam lagi, pintu sisi selatan bisa dibuka, sementara pintu sisi utara, ditutup.
"Astagfirullah."
Wajah cantik yang berselimut lelah terlihat. Tangannya masih menggenggam bolpen.
"Gus, sayap kanan timur, sayap barat aman."
Reflek, Uka melepas jaketnya dan menutupi wajah santriwati yang tengah tidur.
"Panggil ustadz Rizal. Lapor kalau perpus udah steril. Cepat."
Ali dan Khalid mengangguk, mereka segera menaati perintah ketua tim tanpa curiga sedikitpun. Mereka tak melihat ada Almira yang tengah tidur di sana. Sepeninggal Ali dan Khalid, Uka menendang kaki kursi yang diduduki Almira.
Gadis berjilbab putih denga rok abu-abu tersebut terlonjak.
"Astagfirullah!" pekiknya.
Si pelaku terbahak puas karena hasil keusilannya berhasil membuat si korban terkejut. Almira berusaha fokus, mengumpulkan nyawa.
"Nyebelin banget sih, Mas!"
Uka masih terkekeh. "Buruan pergi, jatah kunjungan perpus santri putra bentar lagi mulai."
Serentetan kalimat sumpah serapah hampir dikeluarkan Almira. Namun, ia segera sadar, hanya buang-buang waktu saja jika memarahi Uka sekarang. Dengan cepat Almira memberesi kertas-kertas tugasnya.
"Sini aku bantuin."
Uka membereskan alat tulis gadis itu, memasukkan ke dalam kotak pensil kesayangan sang gadis. Sementara Almira membereskan buku dan kertasnya.
Mata Uka seketika berhenti berkedip saat mendapati sebuah foto di sebalik tutup kotak pensil Almira. Ada seorang anak bergigi ompong tengah digendong anak laki-laki berpipi chubby.
"Mas, buruan siniin."
Almira merebut kotak pensilnya, hingga tanpa sengaja kotak itu terjatuh di dekat kaki Uka. Sang gadis segera berjongkok dan memungut kotak pensilnya. Namun, tanpa sengaja, ia melihat sesuatu yang aneh di sarung sang pria.
"Mas, kok sarungmu ada noda darahnya?" tanya Almira.
Uka menggeleng cepat.
"Jangan bilang kalau kamu dihukum?" tanya Almira.
"I'm okay. Luka kecil nggak akan bikin Ukasya tumbang."
Senyum Uka tergambar.
"Mas ...," lirih Almira dengan mata berkaca-kaca.
"Jangan nakal lagi, please. Aku sedih kalau kamu dimarahin sama Abahmu. Apalagi sampai luka." Air mata Almira hampir tumpah.
Uka menghembus napas. "Buruan pergi. Besok anak Kalam Maya mau ke toko buku. Minta ijin Ustadzah Biya buat keluar. Aku mau ngomong."
Pintu selatan terdengar berdecit, tanda sedang dibuka. Almira tak berpikir dua kali. Ia segera berlari pergi hingga lupa jika di punggungnya masih tersampir jaket sang Gus.
Uka tersenyum. "Dasar bocah."
Dua buah kertas tercecer di dekat kaki meja. Uka memungutnya, gambar tiga orang anak kecil yang tengah berdiri menatap ke langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.