Part 10

538 88 4
                                    


Sepeninggal Uka, Almira segera berlari ke arah ruang redaksi Kalam Maya, tempatnya dan beberapa pengabdi di media dakwah bekerja. Saat masuk ke dalam ruangan besar berukuran 10x8 meter itu, Almira mendapati Sahla tengah meregangkan tubuhnya, sejak pukul tujuh, dia sudah duduk manis di kursinya mengerjakan konsep tabloid Kalam Maya yang dirancangnya.

"Mbak Sa, Mbak."

Sahla menoleh, Almira dengan jilbab yang basah akibat gerimis, mendekat.

"Kenapa lari-lari?"

"Kata Mas eh Gus Uka aku disuruh ke sini."

Sahla mengernyit, "Oh." Gadis itu ingat, ada sesuatu yang dititipkan Uka untuk Almira.

"Ada di sana, di dalam kardus printer."

Almira segera menuju ke sana. Tangannya cepat membuka kardus berukuran besar itu. Mata sang dara seketika memerah dan berair.

"Jazakallahu khairan katsiran," gumam remaja kelas dua belas itu.

Sahla mengamati dari kejauhan. Almira memeluk sebuah boneka beruang dan memakai sweater yang tadi berada di dalam kardus itu.

Iyus, Ali, Qonita, dan Khalid terlihat serius dengan tugas masing-masing. Hanya Sahla yang menyadari keanehan di wajah Almira.

Sahla melambaikan tangan, menyuruh Almira mendekat.

"Dari Gus Uka?" tanya Sahla.

Almira hanya tersenyum.

"Cie, jadi kalian bener pacaran?"

Almira menggeleng.

"Terus?" Sahla mencoba mengulik.

"Kami kan sahabatan dari kecil, Mbak. Ya sebenernya nggak cuma sama dia sih mainnya, sama Kang Ubay, sama Gus Uta juga, tapi nggak tau sih, klik aja kalau sama dia. Aku suka sama stylenya yang cuek, nggak pernah mikir kalau ngomong. Kayak ngaca aja gitu kalau sama dia, kami mirip tingkahnya. Dia selow, aku juga. Dia juga yang nyadarin aku buat nerima kenyataan hidup."

Sahla mengamati Almira dengan seksama, mencoba memahami kalimat Almira.

"Eh, Mbak tadi nembak Kang Ubay?" tanya Almira.

Sahla berjengit. "Ha? Kok gitu? Siapa bilang?"

"Aku denger dari Ummah yang lagi ghibah sama Buna Zia sama Ustadz Hafidz. Katanya Mbak bilang suka sama Kang Ubay."

Sahla menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

"Duh, kok jadi gini sih. Enggak gitu juga. Aku cuma bilang kagum sama dia. Nggak salah kan? Tapi, tapi aku nggak nembak dia tau. Aku tuh, aku cuma ... Enggak gitu maksudnya."

Sahla kesal pada dirinya sendiri. Semua menyebabkan kesalah pahaman. Gawat jika sampai berita seperti itu tersebar di pesantren.

Almira malah tertawa mendengar Sahla yang berusaha menjelaskan hal yang ia jadikan alasan.

"Mbak, misal nanti Kang Ubay kasih sinyal lebih, berarti gayung bersambut. Tapi, kalau Kang Ubay jadi menghindar berarti ya Mbak ditolak."

"Aku nggak nembak dia," sahut Sahla cepat.

Almira malah terkikik.

"Nggak apa-apa sih Mbak, walau Kang Ubay udah ada calon, tapi sebelum para saksi bilang Sah, nggak apa-apa kok. Masih Sah untuk ditikung. Kayak nama Mbak. Sah. Sahla. Sah la buat ditikung."

Sahla mencubit pipi Almira gemas.

"Eh, eh ngapain itu malah mainan. Bentar lagi si bos pulang. Kalau konsepnya belum rampung, nanti kita kena tegur."

Sejelas Idzhar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang