Hari berganti hari, Almira menyibukkan diri membanting tulang. Ia dipercaya oleh tetangga sang nenek, berjualan sayur hasil kebun di pasar pagi, meneruskan kegiatan yang sempat dilakukan Yuni. Siangnya, ia membantu sang ibu membuat anyaman bambu tempat ikan pindang. Sorenya ia bekerja di kafe, hingga malam.Rasa lelah tak jadi mengapa, selama ia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga. Utamanya menjamin gizi sang ibu dan calon adiknya.
"Al, rencananya, kafe kita mau buka sampai tengah malem. Kita sediain hiburan live music. Kamu mau nggak sementara, ambil long shift sampai ada karyawan baru yang mendaftar?"
Manager kafe tempatnya bekerja menawari.
"Gajinya bos?" Almira mengeluarkan cengirannya.
"Tenang, bos besar udah nyiapin dana lebih buat kita. Kamu nggak perlu repot jualan sayur segala kalau pagi. Cukup kerja disini dari jam 1 siang ampe jam 12 malem. Seminggu libur sekali, bayarannya segini."
Almira melihat nominal yang dituliskan wanita berambut burgundy di sampingnya. Seketika matanya berbinar. Nominal itu jelas cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanannya.
"Tapi, jangan pake rok lah Al. Kamu kayak mau pengajian tau. Di sini kan kafe, bukan majelis taklim."
Almira menelan ludah. Gamis dan rok sudah menjadi bagian hidupnya. Memakai celana panjang saja, rasanya risih, seperti sedang telanjang.
Gadis itu mencoba menawar kebijakan di sana. Ia akan meminta bantuan Yuni untuk membuatkannya baju yang tetap nyaman ia kenakaan dan terlihat kekinian.
"Mbak Siska, cobain dong. Ngecek mic nih."
"Gue nggak bisa nyanyi, ogeb." Siska menolak sambil terbahak.
"Lu aja Al, cobain."
Almira akhirnya mengangguk, ia mengambil gitar di dekatnya.
"Widih, lu bisa main gitar juga?"
"Coba ya Kak, tapi jangan diketawain ya."
Haikal, pemuda yang tadi menyodorkan mic, kini membantu Almira memasangnya di stand mic. Petikan gitar dan suara merdu Almira berpadu.
Almira bisa bernyanyi? Tentu saja, dia menyabet gelar Qori'ah terbaik se provinsi selama beberapa tahun terakhir. Siska dan Haikal terlihat menikmati suguhan penampilan singkat Almira.
Di salah satu sudut, seorang pria berusia empat puluhan menatap lurus pada sang dara. Matanya mengamati sosok cantik berbalut jilbab di sana. Tepukan tangan terdengar setelah Almira menyudahi performance-nya.
"Almira? Serba bisa juga ya."
"Big bos." Siska dan Haikal segera memberi salam, Almira menatap pria tersebut, baru pertama kali dia bertemu langsung dengan pemilik utama cafe and bar itu.
"Kalau dari kalian ada yang berbakat, ambil alih saja. Dari pada saya repot mikir mencari home band yang bisa mengisi di sini setiap hari. Lebih baik membayar satu orang loyalis multitalenta berlipat ganda, daripada menambah orang baru tapi loyalitasnya masih diragukan."
Siska segera menanggapi ucapan sang bos. Almira dan Haikal menyingkir saat beberapa kostumer datang. Melayani mereka sebaik mungkin hingga tak terasa waktu kerja mereka habis.
Seperti biasa, Almira akan mengayuh sepeda ungu dengan keranjang di bagian depan miliknya sebagai armada untuk pulang pergi ke tempat kerja. Sepeda kenang-kenangan yang dibelikan sang ayah tahun lalu ketika ia dan ayahnya liburan bersama pasca kenaikan kelas.
"Almira? Kenapa? Bocor?"
Pertanyaan sang bos membuat Almira yang tengah memeriksa bannya mendongak. Ia mengangguk dan meminta ijin menyimpan sepedanya di kafe. Tak ada pilihan lain, malam ini ia harus pulang jalan kaki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.