Ruangan berukuran sepuluh kali lima meter itu di isi dua puluh orang santriwati. Enam belas santri baru dan empat santri senior menempati masing-masing satu kasur busa yang disediakan di setiap ranjang susun di sana. Satu santri senior bertanggung jawab atas empat adik tingkatnya.
Malam itu, hujan turun membuat syahdu. Semua santriwati di kamar dua puluh terlelap dengan nyenyaknya. Sang penanggung jawab kamar, Aina, tertidur di kasur milik sahabatnya, Almira. Tidur berhimpitan di atas busa berukuran 120x180. Sementara dua santri senior lain tidur di ranjang bagian atas.
Sementara itu, di luar, santriwati dari kamar lain sudah berbondong-bondong ke masjid. Jam salat lail. Ya, pukul 03.00 dini hari, mereka sudah harus sampai di masjid. Melakukan salat tahajud, salat hajat dan sunnah lain. Kemudian diteruskan dengan lalaran kitab atau terkadang sholawat bersama, sampai subuh tiba. Selepas subuh mereka diharuskan murajaah, dan baru kembali ke asrama pukul 06.00 pagi untuk melakukan persiapan ke sekolah sekaligus sarapan.
“Udah semua?” tanya Sahla, salah satu pengabdi di pondok yang membantu para pengurus ponpes mengurus para santriwati.
“Sudah Mbak. Sip,” jawab Santi, diangguki oleh Lisa.
Sahla mengucap terima kasih dan segera mengikuti para santriwati ke arah masjid. Beberapa dari mereka harus berlarian ke masjid karena tak mau basah terkena hujan. Payung? Ah, apa itu payung. Jalan ninja para santri adalah melipir. Ya, melipir. Berjalan di sepanjang lorong dan bagian samping bangunan yang sekiranya membuat mereka aman sampai ke tempat tujuan dengan kadar basah yang minimalis.
Dari tangga di serambi masjid, seorang ustadzah dibantu dua orang pengabdi, terlihat menyesuaikan daftar nama dengan anak-anak didiknya. Sahla baru membasuh kakinya dengan air kran di tempat wudu saat ustadzah Biya memanggilnya.
“Mbak Sa, kamar dua puluh belum muncul satu pun.”
Gadis bermukena coklat susu itu mengernyit. Tanpa kata ia segera kembali ke arahnya tadi muncul. Sementara rombongan santri putra mulai mengular. Ya, itulah bedanya santri putra dan putri. Ketika santri putri terbangun, mereka akan langsung menuju ke kamar mandi untuk berwudu dan berangkat ke masjid di saat itu juga. Sedang santri putra? Mereka sangat tepat waktu. Ketika jadwal salat pukul 03.00 maka mereka akan berwudu di jam itu dan berangkat ketika acara sudah dimulai.
Sahla berhenti beberapa kali karena harus menerobos barisan santri putra.
“Dek Sa, ngapain kamu? Jam segini cari kesempatan nabrakin santri putra?”
Sosok pria tinggi kekar berseru padanya, di sampingnya pemuda dengan wajah yang 90 persen identik dengan pria itu ikut menatapnya.
“Santri putri ada yang ilang satu kamar belum ke sini. Kamar Almira, padahal tadi kata yang piket semua udah keluar.”
“Ha? Semua?” Pemuda di samping pria kekar tadi terkejut.
Sahla kemudian meminta ijin pergi untuk mengecek ulang asrama putri. Uka, si pemuda yang terkejut tadi ikut memutar arah kakinya.
“Mau kemana kamu? Biar diurus Dek Sa.”
Teguran sang kakak membuat Uka mengurungkan niat.
“Dek, payungnya bawa aja. Hati-hati, di dekat gudang licin.”
Ubay, kakak Uka, meletakkan payungnya di kaki Sahla. Gadis itu paham, tak banyak kata selain terima kasih. Ia harus segera mengecek ke kamar nomor dua puluh. Kenapa bisa semua santriwati di sana tidak ada yang muncul. Saat sampai di asrama putri, pintu gerbang asrama sudah dikunci. Sahla merogoh sakunya. Sandal jepit berwarna putih dengan tali kuning berjajar rapi berjumlah dua puluh, di depan asrama. Sahla mengernyitkan dahi, ada yang tidak beres tentunya, karena tadi saat ia pergi hanya tinggal tiga pasang sandal dan itu milik tiga orang petugas piket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romansa"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.