Dinginnya air khas pegunungan menjamah kulit Almira. Pukul dua tiga puluh, hanya terdengar suara jangkrik di luar sana.
Gadis bermukena biru dengan aksen bunga warna pink itu segera menunaikan sembahyang lailnya. Seketika terbersit kerinduan pada rumah keduanya. Salat munfarid, bukanlah hal yang menyenangkan bagi Almira.
Tak ada siapapun di sana. Tak seperti ketika ia sedang di rumah keduanya, ponpes Nurul Ilmi. Baru dua hari, rasanya sudah ingin kembali ke sana. Beribadah bersama-sama, rasanya lebih mudah dan menyenangkan, dari pada melakukannya seorang diri.
Selepas salat, sembari menunggu subuh, Almira bermurajaah, melantunkan ayat-ayat suci yang telah dihapalnya. Mempertahankan hapalan, menjaga hapalan, jauh lebih sulit dibanding memulai untuk menghapal. Itulah kenapa, setiap waktu, utamanya ketika tengah senggang, Almira selalu mengulang bacaannya.
Lirih memang ia melantunkan ayat demi ayat, takut mengganggu keluarganya yang tengah tertidur. Di dekat perapian, ia duduk sembari memangku mushaf pemberian Uka yang ia gunakan untuk mengecek bacaannya sesekali.
Tanpa ia sadari, ada sosok yang memperhatikannya dari balik sofa di ruang tengah. Mengabadikan gerak-geriknya, dengan fitur video di ponsel. Hampir lima belas menit, Hasbi menikmati pemandangan meneduhkan itu dalam diam. Sesekali di bibirnya tersungging senyum.
Belum pernah ia mengagumi sosok perempuan seperti ini sebelumnya. Almira memang manis, tetapi sejujurnya dia bukan tipe ideal Hasbi. Meski begitu, ada satu hal yang membuat Hasbi begitu tertarik pada sosok Almira.
"Dia kenapa beda ya? Padahal gue udah kepoin dia diem-diem. Kenapa dia kalau sama temennya bisa los gitu, bercanda, tapi kalau sama gue kayak beda? Kesannya kayak hati-hati dan dewasa. Sengaja jaga image kah? Tapi malah bikin gemes."
Hasbi bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Ia kadang gemas dengan tingkah Almira yang selalu membuang pandang jika tak sengaja tatap mereka bertemu. Menjaga jarak jika mereka bersisihan. Bertutur lembut dan sopan jika tengah berbincang. Meski sekali waktu, Almira seperti menegurnya ketika tahu ia sedang tak enak badan. Menunjukkan perhatian dengan omelan khas perempuan pada orang terkasihnya.
Lamunan Hasbi buyar tatkala suara merdu Almira berhenti melantunkan ayat suci. Isak, justru kini keluar dari bibir sang gadis. Pundaknya sesekali berguncang, didekapnya mushaf itu dengan erat.
"Astagfirullahal 'adzim."
Lirih, kalimah istigfar, berulang diucap Almira. Hasbi seketika beringsut dari tempatnya. Perlahan ia mendekati sang adik tiri yang memejamkan mata sambil menangis.
"Allahu akbar ... Astagfirullah ...."
Suara itu terdengar penuh kepedihan. Almira tengah merintih, meluapkan rasa sakit dari dadanya.
"Adek, kenapa?"
Lembut, suara itu mengalun dari bibir pria berkumis tipis yang kini berlutut dengan satu kaki di depan Almira. Cepat, tangan Almira segera menutup wajah dan menghapus air mata di pipi. Ia menggeleng.
"Kakak udah bangun? Al ganggu kakak ya? Maaf. Suara Al berisik ya?"
Hasbi menggeleng sembari tersenyum.
"Kenapa nangis?"
Almira sedikit menggeser tubuhnya. Risih, tentu saja, ia mendapati kakaknya bersimpuh di depannya. Hampir mereka bersentuhan.
"Kakak duduk situ aja, jangan di lantai. Dingin." Almira menunjuk kursi di sisi lain perapian.
Hasbi menurut, ia menghargai adik tirinya. Ada senyum khasnya tersungging. Senyum yang selalu ia gambar setiap kali menarik perhatian kaum hawa. Namun, Almira tak melihatnya. Almira sibuk membenahi letak kursi santai yang ia gunakan, menggesernya menghadap ke arah pintu samping, agar tak bertatapan dengan Hasbi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.