Part 26

453 86 27
                                    


Aroma gurihnya nasi liwet menyeruak, mengusik indera penciuman pemuda yang baru mengucap salam, memasuki rumah. Beberapa santri yang mengabdi di rumah, segera menyambut dan mencium tangannya.

Uka, pemuda itu, melontarkan sedikit kalimat basa-basi, berbincang dengan para santri yang tengah membersihkan kolam di teras samping rumahnya.

"Eh, cah bagus udah pulang. Dari mana?" tanya Ubay sembari menyambut uluran tangan sang adik.

Uka tak langsung menjawab, hanya tersenyum. Ada sang ayah, kakak ketiga, dan iparnya di sana.

"Habis melepas rindu sama ... Solo."

"Uka, kamu mau lanjut kuliah lagi, di sana?"

Pertanyaan sang ayah membuat pemuda itu menggeleng. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya kembali membuka mulut.

"Abah ... Apa boleh Uka menikah?"

Ustadz Kafaby, Unaysa, Ubay, dan Sahla, kini menatap lurus ke arah yang sama.

"Menikah? Tentu boleh. Abah akan pilihkan jodoh terbaik buatmu."

Sang ayah tersenyum. Namun, Uka menggeleng.

"Abah ndak perlu repot milih calon buat Uka. Uka sudah punya calon sendiri, Abah. Satu-satunya wanita yang ingin Uka nikahi sejak dulu."

Kini, sang ustadz paham apa maksud putranya.

"Tidak, Le. Abah akan memilihkan jodoh untukmu. Wanita dengan nasab jelas. Wanita dengan kualitas agama, akhlak, terbaik. Bukan dari kalangan sembarangan yang tidak jelas juntrungannya."

"Abah, kurang apa Almira? Kurang jelas apa dia? Nasabnya? Abah kenal kedua orang tua bahkan kakek nenek Almira. Agama? Akhlak? Abah bahkan setiap hari selama dua belas tahun tahu bagaimana dia. Dia hafidzah, dia cerdas, diaㅡ"

"Cukup, Uka! Dia tidak pantas bersanding denganmu! Dia sudah menodai citra pesantren!"

Uka mengembus napas, tangannya mencengkeram ujung bajunya, seolah menyalurkan emosi agar tak meledak.  Ia melangkah mendekati sang ayah yang duduk di kursi dekat Ubay. Pemuda itu berlutut.

"Abah, Uka mohon. Restui Uka menikah dengan Almira."

Sang ustadz tetap menolak keras.

"Banyak wanita lain yang lebih pantas buatmu. Dia pernah menjadi kebanggaan kita, tapi sekarang? Semua orang tahu dia menjadi liar setelah keluar dari sini."

Uka tak bisa berbuat apapun, fakta yang ia tahu memang Almira kini sudah memiliki seorang putra.

"Abah mau ke ndalem ageng."

Kalimat itu mengiringi kepergian sang ustadz, meninggalkan anak-anak dan menantunya.

"Uka, duduk sini," ucap Sahla pada sang adik ipar.

Desah napas sang gus terdengar penuh keresahan.

"Kamu yakin mau menikahi Almira?" tanya Ubay.

Uka mengangguk. Ia sangat yakin, meski sebenarnya sekarang ia belum punya pekerjaan tetap yang bisa ia gunakan untuk menafkahi istrinya kelak, tetapi ia yakin untuk segera menikah.

"Cah bagus, kamu tau kan gimana Abah? Bukannya jahat, beliau hanya berhati-hati. Menjaga nama baik pondok dan keluarga, selalu menjadi hal utama yang mendasari setiap Abah mengambil keputusan. Abah pasti sudah mempertimbangkan banyak hal."

Uka mengusap wajahnya.

"Kang, Mbak, kalian percayakan kalau Almira nggak seburuk yang orang-orang itu bicarakan?"

Sejelas Idzhar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang