Kecamuk di dada Almira semakin menjadi saat mobil yang ia naiki bersama Qonita dan Sahla sampai di parkiran pondok. Gerimis menghapus terik siang itu.
"Nanti Mbak bantu menjelaskan pada Ustadzah."
Kalimat Sahla tak cukup mampu menenangkan hati Almira. Bagaimana tidak, masalah sudah menyambutnya di depan mata. Ia sudah di ultimatum oleh ustadzah Biya.
Jalan satu-satunya hanyalah menemui Ummah Hana, sang pimpinan tertinggi santri putri. Ia harus menjelaskan duduk masalah perkara foto yang beredar di kalangan para ustadzah dan pengabdi di pesantren putri. Langkah gontai Almira ke kediaman Ummah Hana, diiringi kecipak air bekas hujan.
Ia masuk lewat pintu dapur, seperti aturan biasanya ketika mereka pergi ke ndalem ageng, sebutan bagi rumah pimpinan pondok. Beruntung, saat itu Ummah Hana tengah memasak di sana.
"Assalamualaikum, Ummah."
Wanita mungil dengan pakaian serba tertutup itu menoleh dan segera menjawab salam. Senyum terkembang, ramah, ia sambut Almira.
"Mau bantu Ummah bikin nasi liwet? Uka sama Uta pengen makan nasi liwet."
Almira langsung mengangguk dan mengikuti instruksi Ummah Hana. Ia mencari celah tepat. Sembari mengupas bumbu-bumbu dapur, Almira duduk di balai, teras belakang yang berbatasan langsung dengan dapur.
Ya, rumah ini memang unik. Ada tiga teras di sini, depan, samping, dan belakang. Di bagian teras belakang ini difungsikan sebagai dapur terbuka, sedang dibagian dalam dapur hanya digunakan untuk dapur bersih dan tempat makan.
"Ummah, Al boleh cerita?"
"Boleh, Sayang. Kenapa?"
Almira menjelaskan duduk perkaranya. Ia bercerita jika tempo hari, sang ayah mengenalkannya pada anak tiri ibu sambungnya. Seorang laki-laki bernama Hasbi yang merupakan dokter muda, masih melanjutkan sekolah spesialisnya.
"Jadi, tadi Mbak Sahla bilang ada yang nyebar foto kami. Padahal disitu ada ayah kok, Ummah. Al takut jadi fitnah. Akhir-akhir ini, Al sering kena kayak gitu Ummah."
Wanita santun dan lemah lembut itu tersenyum.
"Saleha, jangan takut kalau kamu benar. Fitnah, gibah, prasangka buruk orang pada kita, semua itu ibarat kerikil yang akan selalu ada di jalan kita. Menghadang langkah kita. Membuat kaki kita sedikit sakit, menjadikan otak kita berpikir, apa sebaiknya kita berhenti melangkah."
Wanita itu mengeringkan tangan yang telah selesai ia cuci pasca membersihkan labu siam.
"Sama halnya dengan hidup. Segala hal kesakitan itu ujian dari Allah. Ujian ketetapan hati kita. Ada orang yang akan memilih berhenti berjalan dalam koridor yang benar dan termakan nafsu amarah. Menyerang para pelaku fitnahnya. Ada juga yang memilih untuk tetap berpegang kuat pada keimanan, tak tersulut amarah, membiarkan Allah yang membalaskan fitnah. Kira-kira sebagai muslimah, mana langkah yang lebih baik?"
Almira menatap wanita itu dan memilih jawaban kedua. Ummah Hana tersenyum bijak. Ia senang jika Almira paham maksudnya. Deheman seorang laki-laki yang muncul dari teras samping membuat keduanya menoleh.
Ustadz Kafaby, dengan seplastik beras menir di tangan, muncul. Beliau duduk di salah satu kursi, di dekat lahan kosong samping teras belakang, tempatnya memelihara ayam.
"Kamu harus betul-betul mempelajari soal mahram, Almira. Benar jika orang itu kakak tirimu. Namun, dia bukan mahrammu. Meski orang tua kalian menikah. Kamu jangan lalai. Tetap harus jaga adab. Ada batas yang harus kamu jaga dan junjung tinggi. Kamu sudah dewasa sekarang, Al. Bukan anak kecil lagi seperti pertama kali kamu masuk ke sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.