Part 15

461 74 10
                                    

Jajaran pohon pinus menjulang, memanjakan mata. Sangat estetik, meski tak dihiasi apapun. Ketika angin bertiup, sesekali biji buah berwarna coklat terjatuh.

"Awas!"

Hasbi menarik Almira ke dalam pelukannya. Membiarkan buah kering berwarna coklat itu terjatuh di kepalanya. Almira dapat mendengar detak jantung yang begitu cepat dari dada kakak tirinya.

Aroma melati menguar dari jilbab yang bersinggungan dengan dagunya. Hasbi memejamkan mata, menikmati setiap detik yang ia punya. Sebelum tarikan kuat dari tangan Christy memaksanya menjauhi Almira.

"Jangan ngadi-ngadi main peluk ye! Kejatuhan biji beginian nggak akan bikin orang mati," sindir Christy.

Hasbi mendecak lidah, kemudian menatap adik bungsunya.

"Kalau ini jatuh tepat di kepala, bisa bikin cedera. Bahaya kalau samㅡ"

Christy menempelkan telunjuk di bibir Hasbi.

"Nggak usah ceramah, Bang. Misal ini beneran berbahaya, kejatuhan benda beginian bisa bikin cedera otak, kawasan ini nggak mungkin dibuka buat wisata."

Skakmat!

Christy berhasil membungkam Hasbi. Bukan semata-mata karena dia kesal kakaknya begitu perhatian dengan Almira, tapi Hasbi memang terlihat berlebihan memperlakukan gadis itu hingga sering kali Christy melihat Almira tak nyaman.

"Mbak, kalau nggak suka sama perlakuannya abang, mending mbak bilang aja. Aku tahu kok, mbak jijik kan sama dia?"

Almira buru-buru mengoreksi. Bukan jijik tentunya, lebih ke sungkan dan risih. Meski benar mereka saudara, tapi tetap saja bukan mahram.

"Aku belum pernah deket sama cowok selain Mas Uka, jadi agak canggung." Akunya pada sang adik.

Christy mengutak-atik ponselnya, kemudian menunjukkan foto seseorang yang tengah menatap dingin ke arah kamera. Sosok tinggi dengan tubuh cenderung kurus, kulit putih kemerahan, hidung mancung, alis sedikit tebal, bibir tipis yang sering dipakai untuk menyunggingkan senyum sinis.

"Good looking sih. Lumayan juga seleranya Mbak. Kirain anak pondok nggak ada yang bening. Tapi, tatapannya sadis."

Almira tersenyum mendengar komentar Christy tentang sosok Uka. Sadis? Ya, tatapannya yang tajam dan berbanding lurus dengan ekspresi wajah yang serius membuat pemuda itu terkesan angker. Karakter seperti itu mulai ditampakkan Uka sejak duduk di bangku MA. Padahal, sebelumnya, ia tak semenyeramkan itu.

Teriakan Ammar memanggil dua putrinya membuat Christy dan Almia mendekat ke tempat dimana Hasbi, Yuni, dan Ammar berada. Kelimanya sempat mengabadikan moment piknik dan makan bersama mereka siang itu.

"Cici, kamu mau nerusin kemana rencananya?" tanya Ammar.

"Tetep di Bintang Harapan Yah, aku mau ikut kelas akselerasi. Tinggal tunggu pengumuman. Kan lumayan, bisa cepet lulusnya. Mau tinggal di asrama. Kayak yang aku ceritain dulu."

Hasbi mengacungi jempol pada adiknya.

"Nerusin abang," imbuh Christy.

Memang benar, Hasbi dan Christy bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Salah satu sekolah swasta favorit berbasis sistem pendidikan internasional. Yuni mengamati dua anaknya bergantian. Agak aneh melihat Hasbi kompak dengan Christy. Namun, ia sadar, mungkin kehadiran Almira membawa dampak baik pada hubungan kakak beradik itu.

"Oke kalau begitu. Jadi, ayah mau bilang sama kalian. Rumah yang di Semarang, akan ayah jual. Kita pindah ke Solo saja. Ayah kebetulan juga diminta untuk mengisi kekosongan dokter di RS tempat Hasbi magang."

Sejelas Idzhar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang