Sejak pertemuannya dengan Uka tempo hari, Almira justru semakin menjauhi pemuda yang dengan terang-terangan mengejarnya itu.
Mungkin, jika dirinya masih seperti yang dulu, dengan keadaan hidup normal tanpa keruwetan, ia pasti akan menerima pinangan Uka tanpa berpikir dua kali. Sekarang, semua sudah berubah. Semua berbeda.
Seperti hari ini, ia nekat menemui seseorang di kafe tempatnya dulu pernah bekerja.
"Om!"
Satu kata, membuat sosok yang kini berpenampilan dengan kumis dan berewok di wajah, menoleh.
"Almira?"
Calvin memastikan jika orang yang memanggilnya adalah gadis yang ia kenal. Almira mendekat dan mengatakan ingin berbicara serius dengan pria itu. Ia menceritakan semuanya, kejadian setelah Calvin tak lagi ikut campur dalam kehidupannya dan sang mama.
"Om ... Tolong bantu Al sama mama. Al mau ... Mau memenuhi syarat dari Om dulu, asal, bebaskan mama dari ancaman Pak Faruk."
Calvin menatap gadis yang menangis di hadapannya itu. Rahangnya mengeras mendengar nama Faruk. Kolega bisnis yang belakangan ia ketahui berkhianat, membawa kabur banyak asetnya dan mencuci uang hasil kerja sama mereka.
"Al, mamamu sudah menyuruh om pergi dari hidup kalian."
"Om, Al mohon. Al mau nikah sama Om, tapi tolong, selamatkan mama dan Cici dari ancaman pak Faruk."
"Kalau mamamu marah bagaimana?"
"Al yang tanggung, Om. Al mohon. Cuma om yang bisa Al mintai bantuan."
Gadis polos itu mengiba. Memohon bantuan dari pria yang ia yakini jauh lebih baik dari pada Faruk, si pelaku pemerasan dan pengancaman, pada keluarganya.
"Kamu yakin, Almira?"
Almira mengangguk. "Kebahagiaan mama, Cici, dan Attar adalah segalanya untuk Al, Om. Dan Al yakin, Om adalah orang baik. Al yakin, Om akan memperlakukan Al dengan baik juga."
Calvin menyunggingkan senyum.
"Sayangnya, mamamu bilang om seperti binatang. Brengsek."
Almira berusaha meyakinkan Calvin. Ia tak punya pilihan lain. Ini adalah cara satu-satunya agar keluarganya terbebas dari lilitan hutang.
"Oke, kita buat perjanjian. Setelah semua selesai, kita urus pernikahannya."
Gadis itu mengangguk, tak ada pilihan lain yang ia punya. Calvin mengeluarkan beberapa lembar uang.
"Ambil ini, kasih ke mamamu. Jangan bilang dari saya. Yang ini, gunakan untuk membeli kebutuhan Attar."
Almira menatap pria itu sekejap, wajahnya mengisyaratkan intimidasi. Namun, bukan ancaman yang menakutkan. Calvin hanya menunjukkan ia tak ingin penolakan.
Setelah berterima kasih, gadis itu pulang. Ia terkejut saat mendapati sosok pemuda tinggi berkulit putih dengan hidung mancung di salah satu bangku kafe.
"Salam untuk Eyang. Oh iya, soal Cici, semua kebutuhannya sudah aku lunasi. Minggu depan dia wisuda."
Calvin berjalan sembari menatap Almira. Pria itu menemukan sorot aneh pada mata Almira, kemudian melempar pandang ke arah yang sama.
"Almira."
Uka berdiri dan mendekat.
"Om, bisa anter aku pulang?" pinta Almira sembari meraih lengan Calvin.
Tentu ia tak menyentuh kulit sang pria karena Calvin mengenakan kemeja berlengan panjang. Ada ekspresi aneh di wajah gadis itu. Uka dengan cepat meraih tangan Almira dan melepas pegangan tangan sang gadis dari pria tua tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejelas Idzhar (END)
Romance"Jadi perempuan jangan terlalu lugas. Jadilah seperti ikhfa, agar tak terlalu mencolok." "Kalau bisa sejelas Idzhar, kenapa harus samar seperti ikhfa?" Kisah Almira Aisyah Azzahra dalam meraih mimpinya ditengah keterbatasan.