06. School

50 7 0
                                    

Saat pagi masih sayup-sayup menyapa dunia, langit yang terlihat abu-abu, dan udara yang dingin. Hazel sudah pamit untuk keluar rumah. Ia ingin menikmati daun-daun maple yang berguguran di sekitar kanal.

Sebelumnya, ia sudah meminta izin kepada Nyonya Maria untuk mengizinkannya ke cafe untuk membeli stroopwafels, wafel yang tipis yang diisi oleh setrup dan caramel.

Kata Nyonya Maria rugi membeli wafel itu, tetapi Hazel yang selalu pandai dalam hal membujuk orang, dia berhasil membujuk Tuan Alex untuk menyuruh Nyonya Maria memberikan aku uang untuk membeli wafel favoritku sejak tinggal di Amsterdam.

"Semoga Haysel datang lagi ke sini," harap Hazel sembari menggenggam kantong yang berisi stroopwafels yang sudah ia beli, sebelum menunggu Haysel di tempat pertama mereka bertemu.

Tiga jam sudah berlalu, Hazel masih menunggu di tempat yang sama tanpa berpindah posisi. Stroopwafels sudah habis satu ia makan, tersisa tiga lagi.

"Apa Haysel benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi?"

Berbagai pikiran memenuhi isi otak Hazel. Ia membutuhkan Leon yang selalu bisa menebak atau tahu apa saja. Ia ingin meminta Leon memberitahukan dirinya di mana Haysel saat ini.

Hazel mengingat-ingat kembali apa yang mereka berdua lakukan kemarin. Hanya bermain, menaiki sepeda, memungut daun maple, berlarian, dan terakhir ... Hazel ingat! Ia lupa untuk mengingatkan Haysel bahwa mereka berdua akan bertemu lagi di tempat yang sama.

"Mungkin saja Haysel menunggu di tempat yang lain," pikir Hazel. Gadis imut itu pun segera berdiri dari posisi duduknya dan melangkahkan kakinya untuk mencari Haysel.

Namun, sudah satu jam ia berkeliling hasilnya tetap nihil. Tidak menemukan sosok Haysel. Beginikah rasanya ditinggal oleh seorang teman?

Hazel yang merasa putus asa pun mengambil satu stroopwafels lagi. Ia memakannya dengan terpaksa, rasa manis caramel tidak lagi terasa menggiurkan karena hatinya sakit.

Dengan langkah kaki yang lunglai, ia berjalan perlahan menuju rumah keluarga Anderson. Ia berharap anak-anak itu belum pulang dari sekolahnya, karena ia akan membawa stroopwafels itu pulang. Memakannya sendirian di kamar dan keesokan harinya kembali ke kerajaan.

Itu masih rencananya. Namun, rencana gadis itu menjadi hilang saat ia melihat sosok yang ditunggu-tunggu datang dari sudut jalan. Hazel melihat Haysel yang menyandang ransel.

"Kenapa bawa ransel?" tanya Hazel yang keheranan. Ia mengelilingi laki-laki itu dan mendengar jawaban dari Haysel.

"Aku sehabis pulang sekolah langsung ke sini, jadi tidak sempat untuk pulang ke rumah," jawab Haysel yang begitu santai. Tidak tahu dia bahwa Hazel sudah menunggu lebih dari empat jam dan sudah putus asa untuk menunggu.

"Sorry, aku lupa memberitahukanmu bahwa setiap Senin hingga Kamis aku bersekolah," ujar Haysel saat mendapati Hazel yang terlihat cemberut. Laki-laki itu juga melihat sebuah kantong digenggam oleh Hazel. Ia yang kenal dengan jenis kantong itu, langsung mengenali isinya.

"Stroopwafels?" terka Haysel yang mendapatkan tepukan tangan dari Hazel.

"Yes! Aku ingin kita makan bersama," seru Hazel langsung memberikan satu stroopwafels kepada laki-laki yang membuat dirinya hampir kehilangan semangat.

Haysel menerimanya dengan senang hati. Ia pun memakannya dengan nikmat bersama Hazel. Duduk di bangku yang memang disediakan di bawah pohon maple yang berguguran, membuat orang-orang sekitar berpikiran mereka berdua adalah sepasang kekasih.

"By the way, bagaimana sekolahmu?" tanya Hazel saat stroopwafels-nya sudah habis.

Seperti awal bertemu, Haysel tidak langsung menjawab. Laki-laki itu ragu untuk menceritakan tentang sekolahnya yang begitu membosankan. Hanya belajar, istirahat, lalu belajar lagi. Satupun tidak ada yang ingin menjadi temannya di sekolah, ia juga tidak ada niatan untuk berteman dengan mereka semua.

"Hays?"

Haysel tidak juga menjawab, membuat Hazel melambai-lambaikan tangannya di depan wajah laki-laki itu.

"Haysel, kok diam?"

Haysel yang tersadar dari lamunannya menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum manis, tetapi pikirannya masih berada di masa lalu.

"Kamu kenapa? Ceritakan padaku kalau kamu ada masalah," ujar Hazel yang membuat Haysel langsung spontan menoleh ke arah Hazel.

"Bolehkah?" tanya Haysel ragu-ragu.

"Boleh, banget! Kita kan teman, teman itu harus saling membantu."

Haysel pun menceritakan dari awal dia tidak memiliki teman satupun sejak sifat egois ibunya yang entah kapan muncul. Di bangku sekolah dasar, dia pernah memiliki tiga teman yang sangat dekat dengan Haysel. Namun, saat Haysel menginjak bangku sekolah menengah pertama, sang ibu menyuruhnya untuk menjauhi lingkungan pertemanan dan sesudah pulang harus sudah berada di rumah.

Tidak mengizinkannya untuk keluar rumah, kecuali bersama sang ibu. Paling parahnya, laki-laki itu tidak diizinkan untuk bertemu ayahnya sendiri. Sampai sekarang Haysel masih belum tahu alasan dibalik perbuatan sang ibu yang begitu egois. Hingga dia pindah ke Amsterdam pun alasan dibalik egoisme sang ibu masih menghantuinya.

"Kenapa nggak tanya ke ayahmu?" tanya Hazel yang terlihat serius mendengarkan penjelasan Haysel.

"Daddy nggak tahu juga alasannya. Jadi aku sering termenung atau menganggap musim gugur ini malapetaka karena aku masih dihantui oleh alasan ibuku," jawab Haysel sambil menundukkan kepalanya.

Hari-hari terus berlanjut hingga sore. Mereka bermain bersama dan Hazel berusaha untuk tidak mengungkit masalah cerita Haysel itu. Ia terus membuat laki-laki itu melupakannya dengan bermain bersama-sama.

Saat matahari sudah menghiasi langit di sore hari, Haysel baru teringat dengan permintaan sang ayah beberapa hari yang lalu saat ia menceritakan tentang gadis itu kepada ayahnya.

Ia pun memberitahu Hazel untuk datang ke rumahnya besok. Haysel buru-buru menuliskan alamat dan jam datangnya. Lalu, memberikannya kepada Hazel yang terlihat kegirangan.


🍁🍁🍁

bougenvilleap_bekasi
AraaaaKyuddd
AulRin_09
LintangPansavialysan


857

Hays-Zel Autumn「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang