17. The Gift and Promise

53 6 0
                                    

Setelah dua minggu bermain dan jalan-jalan mengelilingi kanal sepuasnya, akhirnya hari terakhir Hazel pun tiba. Daun-daun berwarna oranye, merah, maupun cokelat itu sudah tidak ada di ranting pohon. Pohon-pohon di sekitar kanal hanya tertinggal ranting-ranting tanpa daun. Cuaca juga sudah terasa dingin membuat Hazel dan Haysel memakai pakaian tebal dan juga syal yang melilit leher mereka. Namun, bedanya Haysel memakai topi.

"Jam berapa kamu akan pergi?" tanya Haysel membuka pembicaraan di antara mereka berdua. Haysel biasanya tidak suka memulai pembicaraan, tetapi demi menghancurkan suasana sepi menemani mereka berdua membuat Haysel memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. Sedari tadi sejak datang ke kafe di depan kanal Prinsengracht, tempat biasanya mereka menghabiskan waktu bersama saat lapar ataupun haus.

"Eh, iya? Apa?" jawab Hazel saat tersadar dari lamunannya.

"Jam berapa kamu akan pergi?" tanya Haysel mengulangi pertanyaannya.

Hazel mengaduk-aduk mochalatte yang dipesankan oleh Haysel, mengatupkan bibirnya, tidak menjawab pertanyaan Haysel. Entah kenapa ia merasa sangat kesal saat mengingat sebentar lagi dirinya akan meninggalkan laki-laki yang sejak awal menarik perhatiannya. Ia tidak rela meninggalkan Haysel dan kembali berkutik dengan kesibukan kerajaan, pertemuan antar kerajaan, konferensi pers, dan lain-lain yang membuatnya kecapekan.

"Hazel?" panggil Haysel yang hanya dijawab anggukan oleh Hazel.

"Kamu kenapa? Sakit? Oh iya, maaf aku baru ingat kamu tidak bisa dalam kedinginan," ujar Haysel sembari mengamit jari-jari Hazel dan menarik Hazel untuk berdiri.

Namun, Hazel menolak dan melemparkan senyuman manis bahwa ia baik-baik saja. "I'm fine, Hays. Aku hanya berharap bahwa aku bisa tinggal di sini selamanya, bermain bersamamu sepuasnya. Kalau bisa ... aku bersekolah dan pergi bersama."

Mendengar perkataan Hazel, laki-laki itu kembali duduk di bangkunya dan masih tetap menggenggam jemari lentik gadis dihadapannya. Ia juga berharap seperti itu. Kalau bisa seperti kata pamannya ... Haysel menggelengkan kepalanya. Ia sudah terhasut oleh pamannya tentang perasaannya.

Astaga, aku harus jauh-jauh dari paman, membuat pikiranku terlalu berharap jauh. Berteman saja sudah cukup bagiku, batin Haysel lalu merutuki otaknya yang sudah terpengaruh oleh kata-kata hasutan dari pamannya.

"Kamu kenapa geleng-geleng kepala? Pusing?" Kini giliran Hazel yang khawatir dengan pergerakan Haysel. Ya, bisa saja Haysel pusing karena cuaca dingin itu, terlebih butiran salju sudah turun dari langit.

"Aku tidak apa-apa, kok," jawab Haysel sembari menunjukkan senyumannya yang ia pelajari dari Hazel.

Hazel menganggukkan kepalanya mengerti dan menatap pohon tanpa daun dengan penuh harapan. Baru kali ini ia merasa berat untuk meninggalkan Amsterdam dan kembali ke kerajaan yang penuh kesibukan. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, ia merasa lega telah menghabiskan waktu pada musim gugur dan dengan senang hati kembali ke kerajaannya. Namun, kali ini berbeda. Alasannya hanya satu, ia menemukan seorang teman yang sangat membuat dirinya sempat uring-uringan saat ditinggal pergi tanpa kabar. Mengingat hari itu membuat Hazel tertawa dalam hatinya. Ternyata ia bisa rapuh dan putus asa seperti itu karena perihal laki-laki. Semakin merindukan Haysel, semakin ia berpikir tentang perasaannya terhadap laki-laki itu. Tertarik? Menyukainya? Atau bahkan Hazel mencintainya?

"Jangan terlalu berharap, bisa jadi Haysel hanya menganggap aku sebagai teman saja, tidak lebih," lirih Hazel dalam hatinya.

Saat ia tersadar sudah melamun dan membiarkan keheningan kembali menemani mereka berdua, Hazel langsung menatap Haysel yang juga balik menatapnya.

"Apa masih belum puas termenung? Apa yang kamu pikirkan, Autumn Girl?" Haysel tertawa geli melihat reaksi si gadis musim gugur saat ia melontarkan pertanyaannya.

Hays-Zel Autumn「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang