14. Two Week Later

44 7 0
                                    

Berhari-hari berlalu bahkan saat Hazel menghitung daun maple yang ia kumpulkan setiap hari sudah terhitung 41 daun, berarti sudah 41 hari dia lalui di musim gugur. Ia menatap lesu ke arah dedaunan berwarna orange itu. Semangatnya sudah redup untuk menikmati musim gugur ini. Ditinggal pergi bukanlah hal yang disukai oleh siapapun, termasuk Hazel Autumn. Bahkan, kapan laki-laki itu kembali ke Amsterdam ia tidak tahu. Dua minggu ini ia habiskan untuk mengurung diri di rumah, sesekali ia mengelilingi kanal Prinsengracht seharian menikmati udara sejuk.

Hazel melangkahkan kakinya menuju pintu utama tanpa berkemas-kemas seperti biasanya. Tujuannya hari ini hanya satu, jalan-jalan keluar rumah untuk refresing diri. Sudah lama rasanya ia tidak menikmati pemandangan di kanal Prinsengracht, bahkan caffe yang biasa ia kunjungi bersama Mr. Alex semakin ramai daripada biasanya. Kenapa ia bisa melewatkan itu semua di musim gugurnya?

Hazel tak habis pikir dengan dirinya beberapa hari terakhir, ia bahkan jarang keluar rumah dan hanya bermain dengan Louis, anak yang paling mengerti tentang dirinya daripada keempat anak kecil lainnya.

Ia teringat dengan perkataan Louis, anak itu memintanya dengan mata memohon kepada Hazel untuk keluar rumah, menghirup udara segar. Bahkan gadis itu merasa bahwa Louis adalah titisan kedua dari Leon. Sifatnya persis sama.

"Now, aku sudah turuti permintaanmu, My Little Hero," gumam Hazel sambil melirik ke sekeliling kanal. Untungnya ia mendapatkan kamera dari Mr. Alex untuk membuat Hazel tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihannya.

Hazel mengangkat kameranya dan memotret beberapa pemandangan di sekitar kanal Prinsengracht, seperti kanal dari sudut dia berdiri yang memperlihatkan kanal diterangi oleh senja. Beberapa dari view cafe, restoran, atau bangunan di sekitarnya. Tak lupa Hazel juga memotret dedaunan yang berguguran.

Namun, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya mendekati Hazel yang sibuk melihat hasil potretnya. Senyuman lebar tak ada habisnya muncul di wajah manis gadis itu.

"Excuse me, saya mau bertanya. Apakah Anda kenal dengan alamat rumah ini? Sudah beberapa hari ini aku tidak mengetahuinya, kalau tidak aku berikan kepada tujuan isi surat bisa-bisa saya akan merasa bersalah." Wanita itu menunjukkan deretan alamat lengkap yang tertulis di depan amplop yang dipegangnya.

Hazel cukup terkejut melihat alamat rumahnya berada di sana. Ia dengan ragu-ragu menjawab bahwa alamat itu adalah rumahnya, karena kalau mengatakan bahwa alamat itu adalah rumah keluarga Anderson, bisa-bisanya wanita itu tidak akan percaya.

"Oh benarkah?" sahut wanita itu dengan raut wajah yang terlihat lega.

"Ah ... itu di sana rumahnya. Maaf sudah membuatmu kebingungan mencari alamat rumahku."

"Tidak apa-apa. Justru saya yang seharusnya meminta maaf karena sudah dua minggu berlalu belum juga diberikan surat ini padamu. Terimalah surat ini, dari seorang anak remaja di samping rumahku."

Mendengar perkataan wanita itu, Hazel dengan mudahnya menebak bahwa anak remaja yang dimaksud si wanita adalah Haysel, laki-laki yang meninggalkannya tanpa kabar. Karena di dalam pikirannya hanya Haysel yang tahu alamat rumahnya. Manusia bumi lainnya tidak tahu.

"Namanya Haysel?" tanya Hazel untuk lebih memastikan.

"Maaf, saya kurang mengingat namanya," jawab wanita itu.

"Baiklah, terima kasih, Nyonya. Aku menerima surat ini. Terima kasih," kata Hazel mengambil alih amplop dan menerimanya dengan senang hati.

"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu, kalau butuh menghubunginya kamu bisa pergi ke rumah anak itu dan menemuiku yang tinggal tepat di sampingnya," ujar wanita itu setelahnya ia melangkahkan kakinya menjauhi posisi berdiri Hazel.

Sepeninggalan wanita itu, Hazel membuka segel amplop itu dan menemukan sebuah kertas dan gantungan kunci akrilik bermotif daun maple. Ia semakin yakin si pemilik surat adalah Haysel Ashier.

Hazel membuka surat itu dan mendapati tulisan tangan Haysel yang baru ia lihat. Tulisannya sangat rapi dan mudah untuk dibaca, walaupun tidak sebagus tulisannya. Yah, Hazel kan sudah diajarkan sejak kecil dalam hal menulis oleh almarhum ibunya. Hazel menggelengkan kepalanya dan mulai membaca isinya.

"Dear, Hazel Autumn.
Ini aku Haysel. Maaf aku hanya bisa mengatakannya padamu melalui sebuah surat. Maafkan aku yang pergi tanpa pamit terlebih dahulu.
Aku akan ke Jakarta di Indonesia. Tempat nenek dan kakek dari ayahku tinggal. Semalam sebelum aku berangkat, bibiku menelpon bahwa nenek akan dioperasi dan ayahku harus berada di samping nenek. Awalnya aku menyarankan bahwa aku tetap di Amsterdam saja, tetapi ayah terus menolak dan memaksaku untuk ikut dengannya. Jadi, kegiatan sekolahku juga terhenti. Bahkan, pekerjaan ayahku digantikan oleh asistennya di perusahaan.
Dan sepertinya aku akan di Jakarta selama satu bulan lebih, karena kata ayahku menjaga dan merawat nenek membutuhkan waktu yang lama.
Aku harap, kamu tetap tersenyum dan bahagia. Nikmatilah musim gugurmu sepuasnya, saat aku pulang ke Amsterdam, aku melihat raut wajahmu yang sama seperti awal kita bertemu. Tunggulah aku.

Your Friend,

Haysel Ashier."

Hazel membaca isi suratnya dengan napas yang tersekat. Jadi, selama dua minggu ini ia telah berburuk sangka kepada laki-laki itu. Ia menyesal sudah menyia-nyiakan waktu dua minggu ini untuk mengurung diri di dalam rumah. Mulai sekarang, Hazel tekadkan di dalam hatinya untuk terus menikam musim gugur seperti permintaan laki-laki itu.

Hazel pun menatap langit biru dan daun-daun yang berwarna orange yang masih di berada di ranting pohon. Lengkungan tipis tidak kunjung hilang dari raut wajahnya.

"When you go back home?"

🍁🍁🍁

bougenvilleap_bekasi
AulRin_09
AraaaaKyuddd
LintangPansavialysan

14 Januari 2022, 836

Hays-Zel Autumn「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang