02. Haysel Aisher

74 11 7
                                    

Jakarta, 4 tahun yang lalu.

Bunyi dentingan suara benda pecah memekakkan telinga seorang anak laki-laki berusia 13 tahun. Diusia yang masih anak-anak, sudah disuguhkan dengan adegan yang tidak pantas untuk dilihatnya atau didengar. Namun, tidak baginya. Kejadian itu sudah seperti makanan sekali seminggu.

"Kamu yang sudah mengecewakan aku, Mas!"

"Kamu juga tidak ingin aku dekat dengan putraku sendiri!"

"Dasar egois," desis pria paruh baya dengan wajah yang dingin, tidak ada satupun ekspresi yang ditunjukkan. Cukup sudah dia menerima segala sifat egois istrinya itu selama tiga tahun.

Setelah memikirkan dengan matang, memang sebaiknya putranya harus ia bawa pergi dari genggaman sang Ibu karena istrinya itu sudah cukup menyiksa hatinya tentang satu masalah.

"Haysel, ayo kita pergi dari rumah neraka ini," ajak sang ayah sambil menarik tangan putranya.

Namun, yang terjadi adalah penolakan dari anak laki-laki yang bernamakan Haysel itu.

"Hasel nggak mau pisah dari Bunda, Ayah," ujar Haysel dengan wajah yang sudah berlinang air mata. Kalau dia berani mengeluarkan isi hatinya tentang kedua orang tuanya yang tidak pernah harmonis semenjak dia mengetahui tentang dunia, pasti akan dia katakan.

"Apa kamu masih mau sama Bunda?" tanya sang ayah sambil menatap Haysel dengan tatapan yang berharap anaknya mengatakan 'engga, Haysel mau sama Ayah."

Namun, jawaban yang dikeluarkan oleh Haysel membuat sang ayah terpaku mendengarnya dan sang ibu langsung menolak mentah-mentah.

"Kalau Hasel boleh jujur ... Hasel ingin Ayah, Bunda, dan Hasel jadi keluarga bahagia seperti teman-temannya Hasel," jawab Haysel dengan suara kecil karena sedari tadi ia menangis, membuat suaranya sedikit tersendat.

"Gak bakal terjadi, Haysel! Dia itu ayah yang buruk," tolak sang ibu yang membuat Haysel menangis dan langsung mendekati sang ayah.

"Tapi Hasel maunya itu, Bunda! Hasel  iri lihat teman-teman Hasel bahagia sama keluarnya. Hasel iri saat teman-teman Hasel cerita kalau dia liburan bareng keluarga," ujar Haysel memberanikan dirinya untuk mengeluarkan segala yang dia ingin katakan.

Sang ibu tetap berpegang teguh pada prinsipnya entah apa itu untuk menolak keinginan anaknya itu. Dari awal ia hanya ingin punya anak, setelah mendapatkan anak, dia akan meninggalkan suaminya dan hidup berdua dengan sang anak. Namun, setelah niatnya diketahui oleh suaminya, segalanya niat dan impian gagal.

"Ke ... kenapa Bunda menolak? Permintaan Hasel nggak memberatkan, cuma ...," ucapan Haysel terhenti saat sang ibu yang diluar perkiraannya.

Plak!

Suara tamparan langsung mengisi absen suara di rumah itu. Mendapat tamparan dari sang Ibu, Haysel langsung terdiam di tempat sembari menatap sang ibu dengan kecewa.

"Mana mungkin itu terjadi kalau bersama ayahmu itu. Cukup sama bunda saja kamu akan bahagia."

Sang ayah yang tidak terima melihat putra kesayangannya ditampar, dia langsung mengambil tindakan tanpa persetujuan Haysel. Ia membawa Haysel ke belakangnya dan mendekati sang ibu.

Dengan tatapannya yang tajam, rahang yang terlihat mengeras, dan tangan yang digenggam erat hingga memperlihatkan urat-urat jarinya. Dia sungguh tidak habis pikir, seorang wanita yang memiliki anak berani menampar anaknya sendiri yang tidak bersalah. Keinginannya juga sama dengan Haysel, memiliki keluarga harmonis. Namun, karena sifat egois dan diluar nalar istrinya itu membuat keluarganya jauh dari kata harmonis.

"Kamu! Di mana otak kamu, Ay! Nggak habis pikir saya, kamu bisa-bisanya berani menampar anak kandung sendiri. Bahkan, Haysel nggak salah apa-apa! Dia hanya ingin sebuah keluarga yang harmonis, tapi kamu malah menamparnya? Salut saya dengan otak gilamu itu. Memang, ya, perkataan orang tua nggak pernah salah. Menyesal saya menikah dengan wanita seperti kamu, menyesal juga saya tidak mendengarkan nasihat ayah saya tentang dirimu. Sekarang, selamat menikmati harimu yang suram. Aku akan bawa Haysel jauh dari gapaian wanita gila kayak kamu. Oh ya, tunggu saja surat cerai dari saya."

Setelah mengatakan semuanya, sang ayah menggendong Haysel dan berjalan keluar dari rumah neraka itu tanpa menoleh sedikitpun ke belakang untuk melihat respon sang ibu.

"Kamu akan menyesal, Mas! Haysel juga!" pekik sang ibu yang memperlihatkan raut wajah sombong. Tidak ada sedikitpun rasa menyesal atau apapun, hanya sombong dan angkuh.

Sang ayah dan Haysel memasuki mobil bersama. Bukan, Haysel sedikit memohon kepada sang ayah untuk berbaikan dengan sang ibu, dia ingin keluarga yang bahagia. Hanya itu saja. Namun, sang ayah menjawabnya dengan jawaban yang membuat Haysel hanya bisa menangis.

"Maaf, Hasel. Bunda kamu yang tidak menginginkannya. Ayah ingin sekali hidup di keluarga yang diimpikan Hasel."

Setelah itu, ayah Haysel menginjak gas dan menjauh dari rumah itu. Baju-baju dan perlatan tidak pentingnya ia tinggalkan saja di sana, beruntungnya surat-surat penting selalu ada di dalam kopernya di apartemen tempat ia tinggal.

Selama perjalanan, suasana di dalam mobil terasa sunyi. Ayah Haysel juga tidak ada inisiatif untuk menghidupkan radio atau lagu.

"Ayah, apa benar kata ayah ingin bawa Hasel jauh dari ibu?" tanya Haysel dengan polosnya setelah tangisannya sedikit mereda.

"Benar, Nak. Kamu lihat sendiri, kan, ibu kamu itu berani nampar kamu. Juga nggak mau menerima permintaan kecil kamu. Di sana, ayah janji nanti akan menjadi ayah yang baik dan mengabulkan segala permintaan kecil Hasel," jawab sang ayah yang membuat Haysel tersenyum lega.

Ia pun tidak lagi meminta untuk tetap bersama ibunya. Ia akan mengikuti ke mana pun sang ayah pergi. Ia juga berharap mendapatkan kebahagiaan di luar sana.

Kata sang ayah, di luar sana sedang musim gugur. Ayahnya juga menceritakan betapa indahnya musim gugur itu untuk mengalihkan pemikiran Haysel tentang kejadian di rumah tadi.

🍂🍂🍂

Bersambung....

bougenvilleap_bekasi
LintangPansavialysan
AulRin_09
AraaaaKyuddd

863

Hays-Zel Autumn「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang