04. First Time

64 8 8
                                    

"Hazel Autumn, berikanlah benda itu kepada seseorang yang menarik perhatianmu. Pesanku hanya satu dan singkat, bahagiakan orang tersebut dengan kebahagiaanmu. Percayalah padaku yang bisa meramal masa depan."

Hazel terus mengulang-ulang membaca dan menyerap makna serta isi dari pesan Leon yang selalu tersembunyi. Bahagiakan orang tersebut?

"Apa maksudnya?" pikir Hazel sembari mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarnya yang berhadapan dengan jalanan Amsterdam yang diterangi oleh lampu-lampu yang menghiasi setiap pohon dan juga setiap toko dan rumah yang ada di sekitar kanal.

Malam hari di Amsterdam sangat yang penuh energi dan tak kenal lelah, terutama pada malam hari, ketika kehidupan malam meresapi setiap distrik.

Setelah semalaman dihantui oleh pesan dari Leon yang entah kapan laki-laki itu memasukkan sebuah amplop ke dalam tasnya.

Akhirnya keesokan harinya sekitar jam 6 pagi dia sudah berangkat untuk jalan-jalan di sekitar kanal di Amsterdam. Selama Hazel mengelilingi tepian kanal Prinsengracht, ia tidak menemukan seorang manusia yang menarik perhatiannya.

Pesan dari Leon sungguh membuatnya kebingungan. "Menyebalkan sekali ...." Hazel terus menyumpah serapahi Leon di dalam hatinya.

Hingga, tidak di sengaja mata Hazel menemukan sosok manusia bergender maskulin yang mungkin dikatakan oleh Leon di dalam pesan tersebut.

Bagaimana tidak? Sosok itu terlihat murung dan tidak ada ekspresi bahagia di raut wajahnya. Sementara di dalam isi pesan itu adalah bahagiakan orang yang menarik perhatiannya. Dan laki-laki yang duduk di tepian trotoar di depan sebuah cafe menatap kosong ke arah pohon maple, sangat menarik perhatian Hazel.

"Musim gugur itu datang dengan membawa kebahagiaan dan sudah tugasku untuk membuat laki-laki itu bahagia," ungkap Hazel dengan semangat yang membara. Walaupun ia tidak tahu bahwa laki-laki itu memang sedih atau bagaimana, Hazel akan tetap mendekatinya dengan senyumannya yang lebar.

"Hai!" sapa Hazel sambil membawa daun maple yang telah ia pungut dari jalan dan dihadapkannya di depan wajahnya. Seperti ciluk ba kepada anak kecil.

Laki-laki itu meresponnya dengan anggukan tanpa menoleh sedikitpun ke arah Hazel yang tersenyum.

"Hai?"

"Sapa balik, dong."

"Hello."

"Ah, maaf aku lupa memperkenalkan diri. My name is Hazel Autumn. You can call me Hazel or Zel."

Sudah berbagai cara Hazel menyapa laki-laki itu, respon yang dia dapat hanya anggukan. Menoleh sedikit saja tidak ada, membuat hati Hazel semakin ingin menyapanya.

"Tahu tidak? Aku itu sangat menyukai musim gugur ini. Kenapa? Karena hanya pada musim ini aku bisa bebas melakukan apa saja tanpa terkekang oleh peraturan keluarga. Lalu, aku juga ingin orang-orang yang menarik perhatianku atau orang-orang yang bersedih pada musim gugur ikut serta merasakan kebahagiaan dan ketenangan di musim gugur. Apalagi di Amsterdam ini."

Hingga sudah berkali-kali dan Hazel lelah. Ia pun ikut duduk di samping si lelaki yang sepertinya menganggap Hazel hanya angin yang berlalu.

"Hufft. Susah banget, sih. I just wanna be your friend," ujar Hazel yang terus bermonolog sendiri karena laki-laki di sampingnya itu sama sekali tidak merespon apapun selain anggukan saat di sapa.

"Me too," jawab si laki-laki tak terduga, membuat Hazel sontak menoleh dan sebuah lengkungan manis terbit di wajahnya yang manis.

"Wow, thanks for the response!" seru Hazel yang masih tak percaya lelaki itu merespon perkataannya.

Hays-Zel Autumn「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang