1. Dia Yang Kembali

1K 127 30
                                    

Bagaimanapun kisah akhirnya, nyatanya kita pernah saling membahagiakan.


***

Sialan!

Irish tak bisa menahan umpatannya saat melihat balasan email dari perusahaan tempatnya mengajukan lamaran. Dia ditolak untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa banyak perusahaan yang dia lamar, tapi tidak ada yang mau menerimanya. Padahal dia sudah memenuhi kualifikasi yang diperlukan. Rasanya dia ingin menyerah saja. Gelar sarjana ekonomi yang dia dapatkan tampak sia-sia kalau pada akhirnya dia hidup luntang-lantung bak pengangguran sejati.

Mencebikkan bibir, Irish membenamkan wajahnya di keyboard laptop yang masih menyala. Terhitung sudah tiga bulan dia berhenti dari pekerjaan lamanya, dan sampai sekarang dia masih begini-begini saja; menghabiskan waktu di Cafe Senja dengan beberapa lembar kertas berisi informasi lowongan kerja.

Ini semua pasti gara-gara perusahaan tempatnya bekerja dulu. Pasalnya, dia pernah meninju seorang atasan tua yang menggodanya dengan iming-iming akan menjadi istri ketiga. What kind of bullshit is that? Itu sama saja dengan merendahkan harga dirinya sebagai seorang perempuan. Maka bukan salahnya kalau dia berlaku kurang ajar—tidak, kurang aja bukan kata yang cocok karena Irish merasa perlakuannya sangat pantas diberikan kepada penjahat kelamin seperti orang itu. Jadi dia tak akan pernah menyesal.

Sayangnya, perusahaan tersebut merupakan perusahaan besar yang mempunyai banyak koneksi, dan dia sedang menanggung akibat dari perbuatannya yang seharusnya mendapatkan dukungan, tapi malah dia yang dipojokkan. Dengan kata lain, dia dipecat secara tidak hormat.

Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia hanya bergantung pada sisa-sisa tabungan yang untungnya lebih dari cukup. Namun, dia tidak bisa terus-menerus mengandalkan simpanannya yang pasti akan menipis. Meminta pada orang tua juga tidak mungkin. Dia terlalu malu untuk melakukannya.

Tuhan, aku harus gimana?

"Lagi frustasi?"

Suara berat nan dalam yang disertai tarikan kursi di sebelahnya membuat Irish langsung mendongak. Alisnya berkerut sebentar sebelum matanya membulat sempurna tatkala mendapati pria pemilik senyum semanis madu kini tengah menatapnya dengan sorot—

Irish buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah laptop, berpura-pura sedang mengetik meski nyatanya dia hanya memencet tombol keyboard sembarang, yang penting dia tidak menatap mata sekelam malam yang mampu menghanyutkannya itu. Sejak kapan pria itu ada di tempat ini? Atau lebih tepatnya, sejak kapan pria itu ada di Jakarta?

"Ada masalah?"

Seolah-olah tuli, Irish tidak mengindahkan pertanyaan pria itu, walaupun sesekali matanya justru bergerak liar, memindai penampilan pria itu yang benar-benar berbeda dari terakhir mereka bertemu. Memang, seiring berjalannya waktu, setiap orang pasti akan berubah, tapi pria itu berubah terlalu banyak hingga hampir tak dikenali Irish.

Lihat saja, tubuhnya yang dulu kurus, kini sedikit berisi dan proporsional. Rambut gondrongnya berganti menjadi model two block haircut, dan kulitnya yang semula sedikit gelap karena sering mengikuti organisasi alam, menjadi lebih terang.

Hanya senyum dan sorot matanya yang masih sama, mengingatkan Irish pada kondisi mereka sebelumnya.

"Kamu bersikap dingin, padahal kita udah lama nggak ketemu. Aku selalu penasaran dengan kabar kamu, tapi saat melihat kamu secara langsung, i know you're not fine. You ... messed up."

Missing VariableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang