Hari esok, tak ada yang tahu. Jangan terlalu bahagia dengan apa yang kamu punya hari ini, karena bisa jadi esok kamu akan dibalut rasa kecewa.
***
"Sial!"Ayana melempar bantal sofa ke sembarang arah sambil berteriak kesal. Hazel sudah pergi beberapa saat lalu, tapi pernyataan pria itu masih terngiang di telinga. Dugaannya memang benar kalau Hazel dan asistennya mempunyai hubungan di luar pekerjaan. Kalau sebelumnya dia berusaha menampik hal tersebut, kini tidak bisa lagi lantaran Hazel sendiri yang mengaku.
Hah! Pantas saja dari awal Ayana kurang menyukai Irish. Perempuan itu seperti ular di balik wajah polosnya. Tindak-tanduknya pun tampak berani meski hanya menjadi asisten pribadi Hazel.
Lalu, itu berarti dia sudah tidak punya kesempatan lagi untuk mendekati Hazel? Dia sudah kalah bahkan sebelum berjuang? Memangnya, apa yang Hazel lihat dari diri Irish? Kecantikan? Kekayaan atau kemandirian? Ayana jauh di atas perempuan itu. Lagi pula, Ayana lebih dulu mengenal Hazel, tapi kenapa justru Hazel memilih Irish?
"Aku benci kamu, Rish!" Ayana menepis kotak P3K yang masih tergeletak di atas meja hingga isinya berceceran di lantai. Secara alami, setetes cairan sebening kristal mulai mengalir dari sudut matanya, yang semakin lama semakin deras. Ayana menangis sekencang-kencangnya. Rumahnya yang sepi seakan-akan menjadi saksi bisu kesedihannya, memeluk Ayana dalam keheningan yang mencekam.
Sejak pertama kali bertemu Hazel, Ayana sudah tertarik. Ketertarikannya semakin menjadi tatkala melihat keuletan pria itu. Semula, dia masih ragu untuk bekerja sama dengan kantor Hazel, tapi karena beberapa alasan—salah satunya adalah kecerdasan Hazel—akhirnya dia setuju.
Dari sana, dia dan Hazel menjadi lebih sering bertemu. Pertemuan-pertemuan yang memunculkan perasaan menggelitik di hatinya. Perasaan ingin memiliki, dan kecemburuan yang menyeruak ketika Hazel bersama dengan perempuan lain.
Semuanya berjalan dengan baik. Hazel memperlakukannya dengan sangat manis, barangkali memang karakternya begitu, yang membuat Ayana semakin menaruh harap. Namun, kenyataan yang baru saja dia dapatkan, menyentak diri Ayana. Dia seperti baru saja dicampakkan oleh Hazel.
Tanpa sadar, tangan Ayana terkepal erat. Dia membenci Irish. Perempuan itu sudah mengambil Hazel darinya, dan kalau Irish pikir dia akan diam saja, tentu tidak. Seorang Ayana selalu mendapatkan apa pun yang dia inginkan, termasuk Hazel.
Cepat-cepat, Ayana mencari ponselnya di antara bantal-bantal sofa. Setelah ditemukan, dia mencari sebuah kontak lalu menghubunginya. Tak lama menunggu, orang yang ada di seberang sana langsung mengangkat panggilannya.
"Kenapa, Na?" Suara berat yang agak serak seketika menyapa indra pendengarannya, membuat Ayana tersenyum tipis.
"Om? Bagaimana kabarnya?" Tanpa membereskan barang-barangnya yang berserakan, Ayana duduk di sofa seraya menyandarkan tubuhnya.
"Baik, baik. Tumben telepon, Na. Kamu lagi perlu bantuan?"
Ayana menggeleng. "Enggak, Om. Aku lagi nggak butuh bantuan. Tapi ... aku mau kasih jawaban atas penawaran Om dua tahun silam."
"Oh? Bukannya kamu bilang lagi nggak mau memikirkan perihal itu dulu?" Terselip nada keheranan dalam suara lawan bicara Ayana.
"Iya, Om. Itu memang benar." Ayana menatap layar televisinya yang hitam, menampilkan pantulan bayangannya yang tampak tidak keruan. Dia yang selalu memperhatikan penampilannya, menjadi sangat berantakan gara-gara pria bernama Hazel Jenggala. "Tapi itu, kan, dulu, Om. Aku pikir, semakin dewasa, aku memang perlu seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Dan, ya. Aku memutuskan untuk menerima tawaran Om."
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...