Jangan pernah berurusan dengan seseorang yang masih terikat dengan masa lalunya, karena itu hanya akan menyakitimu saat mengetahui fakta yang sebenarnya.
***
Hazel berusaha untuk tetap tenang meski sebenarnya dia risih ditatap dengan penuh penilaian oleh orang di hadapannya, membuat Irish mau tak mau angkat suara daripada keheningan yang mencekam di sekitarnya semakin menjadi.
"Glenn, Hazel mau ikut nonton bareng kita. Nggak apa-apa, kan?" tanya Irish, tak enak. Bagaimana tidak, Hazel benar-benar ngotot ingin ikut padahal sudah dia tolak mentah-mentah. Dia pikir, kemunculan Jasmine bisa meloloskannya dari pria itu, tapi ternyata dia salah. Saat dia sedang berjalan di trotoar—sekaligus menunggu ojek online-nya datang, mobil yang Hazel kendarai menepi di dekatnya dan mengajak Irish pergi bersama.
Mereka sempat berdebat, yang akhirnya dimenangkan oleh Hazel hingga mereka berakhir di bioskop.
Glenn tampak tidak ikhlas. Niat hati ingin menonton berdua saja dengan Irish, semata-mata untuk pendekatan, nyatanya semuanya gagal total gara-gara Hazel yang sudah dia tandai sebagai saingan. Namun, kalaupun dia mengatakan keberatannya, dia takut kalau Hazel akan menginvasi Irish.
"Nggak apa-apa. Makin rame makin bagus." Glenn tersenyum tipis, walaupun tak dipungkiri tatapannya sedikit tajam ke arah Hazel. "Kalau gitu, aku mau beli tiketnya dulu."
"Udah saya beliin." Hazel menimpali, yang berhasil menghentikan pergerakan Glenn yang hendak membeli tiket. Pria itu mengangkat alisnya ketika Hazel menunjukkan tiga tiket ke hadapan Glenn.
"Kamu datengnya lama. Untung ada saya. Kalau enggak, mungkin Irish bakal nunggu kamu sendirian di sini." Hazel menambahkan.
"Zel!" Irish menyikut lengan Hazel seraya memberi isyarat supaya menjaga perkataannya. Pria itu kenapa sangat menyebalkan, sih?
"Glenn, masuk studio satu, ya. Udah ada panggilan soalnya." Irish mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin ada perkelahian di bioskop, terlebih tubuhnya yang mungil tak akan mampu memisahkan kedua pria yang bertubuh lebih besar darinya itu.
"Berapa harga tiketnya? Biar saya bayar." Glenn ingin merogoh dompetnya di saku celana tapi ditahan oleh Hazel.
"Nggak usah. Saya yang traktir."
"Nggak. Saya—"
"Bayar-bayarnya nanti aja. Filmnya mau mulai. Mending sekarang kita ke studionya dulu." Tanpa sadar, Irish menarik tangan Hazel untuk menghindari pertikaian. Dia sendiri tak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri yang justru mengajak Hazel pergi, alih-alih Glenn. Namun, biarlah. Yang penting mereka tidak bertengkar.
Glenn hanya bisa menghela napas. Dengan langkah malas, dia mengikuti Irish dan Hazel yang lebih dulu berjalan di depannya. Hanya saja, perdebatan di antara keduanya ternyata belum selesai. Karena di dalam studio satu, Hazel dan Glenn meminta Irish untuk duduk di sebelah mereka. Tak ada yang mau mengalah, sampai-sampai Irish malu dilihat oleh penonton di sana, barangkali mereka mengira kalau Irish bukan perempuan baik-baik yang memiliki dua pasangan.
"Biar aku aja yang di tengah. Udah. Nggak ada lagi yang protes." Irish duduk di antara kedua pria itu. Perkara duduk saja mereka bisa semenyebalkan ini. Rasanya Irish ingin pulang saja, membiarkan kedua pria itu melakukan apa pun yang mereka mau, bahkan tak masalah kalau mereka ingin adu otot. Lebih baik dia merebahkan diri di atas kasur daripada mengurusi dua pria dewasa yang sikapnya seperti anak-anak.
Glenn dan Hazel akhirnya diam, meski mata mereka terkadang masih saling melirik tajam. Film pun dimulai. Di menit-menit awal, belum ada adegan yang menyeramkan. Masih seputar kehidupan si tokoh utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomantizmIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...