8. Uji Kesabaran

153 22 0
                                    

Barangkali karena perpisahan kita yang menyakitkan hingga beberapa memori tentangmu ikut menghilang.

***


"Maaf, Mbak. Mbak nggak bisa masuk sembarangan tanpa name tag."

"Saya udah bilang kalau saya bekerja untuk salah satu karyawan di sini yang bernama Hazel Jenggala."

"Saya tidak diberitahukan kalau tamu Pak Hazel akan datang. Mbaknya sudah menghubungi yang bersangkutan?"

Irish menghirup udara dengan rakus—berusaha untuk tetap bersabar—sebelum berkata, "Kalau nomornya aktif, saya nggak bakal mungkin cekcok sama Bapak di sini."

"Ya, sudah kalau begitu. Silakan ditunggu sampai nomor Pak Hazel aktif kembali."

Perdebatan selesai. Satpam berbaju cokelat itu kembali pada posisinya, meninggalkan Irish yang masih berdiri di depan pintu masuk dengan wajah memerah menahan kesal. Kepalan tangannya mengerat, ingin sekali meninju wajah Hazel yang entah sedang berada di mana sekarang.

Hazel Sialan Jenggala!

Irish seperti dibohongi mentah-mentah oleh pria itu. Dia menyuruh Irish untuk segera datang ke kantor, tapi begitu sampai, nomor ponselnya justru tak aktif. Hazel juga tak ada menitip pesan kepada resepsionis kalau Irish akan datang.

Parahnya lagi—yang membuat Irish semakin emosi—Hazel sama sekali tak memberitahukannya terkait peraturan kantor yang mewajibkan tamu untuk memakai name tag kunjungan yang biasanya diberikan oleh karyawan yang bersangkutan.

Lengkap sudah kekesalan Irish di pagi yang sangat cerah ini. Di saat perutnya belum terisi dengan satu pun makanan, dia sudah adu urat dengan satpam kantor. Ingatkan Irish untuk melempar Hazel ke Pulau Ular yang terletak di Brazil supaya bisa berkumpul bersama teman-temanya.
Kalau begini jadinya, lebih baik dia melanjutkan mimpi indahnya yang bertemu dengan Park Seo Joon daripada buang-buang waktu untuk hal-hal yang membuatnya darah tinggi.

Sekali lagi, Irish menelepon Hazel, berharap pria itu mengangkatnya supaya dia tidak malu-malu amat karena berdiri di depan kantor seperti patung selamat datang. Namun, nihil. Hanya suara operator yang terdengar.

Irish menatap ponselnya speechless dengan sebelah tangan berkacak pinggang. "Wah, dia memang pengin kena timpuk, ya? Bisa-bisanya menghilang saat diperluin. Awas aja kalau udah ketemu! Jangan harap masih bisa cengengesan."

"Loh, Irish?"

Saat sibuk bermonolog, Irish dikejutkan dengan kemunculan Sian—suami Mauve sekaligus rekan kerja Hazel—yang tengah membawa cup kopi dan camilan.

"Sian?"

Sian tersenyum tipis. "Ternyata beneran kamu. Lagi ngapain?"

"Lagi nunggu Hazel. Kamu sendiri?" tanya Irish, basa-basi. Sejujurnya, dia tidak terlalu akrab dengan Sian. Namun, dia sedikit bersyukur lantaran bertemu dengan suami Mauve. Setidaknya, di tempat yang luas ini, dia mempunyai seseorang yang dia kenal.

"Beli sarapan." Sian menunjukkan belanjaannya kepada Irish.

"Pak Sian kenal sama Mbak ini?" Satpam bertubuh gempal yang tadi berdebat dengan Irish, menghampiri keduanya.

Sian mengangguk kecil. "Dia teman saya."

Mendengar pengakuan Sian, rasanya Irish ingin tertawa ketika melihat raut si satpam yang berubah tak enak. "Jadi, Bapak percaya, kan, kalau saya bukan oknum penipu yang suka ngaku-ngaku? Wajah-wajah kayak saya, tuh, tipe innocent, Pak. Daripada nipu Hazel, lebih baik saya cari Daddy sugar yang udah pasti kekayaannya."

Missing VariableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang