29. Lukisan De Javu

79 9 0
                                    

Kenangan yang sempat kulupakan, akhirnya mulai muncul ke permukaan. Ternyata, kita pernah seindah itu, ya?

***


"Kamu udah ngerasa enakan?" tanya Irish begitu masuk ke ruangan Hazel. Sejujurnya, dia masih khawatir dengan keadaan Hazel, mengingat kemarin demam pria itu cukup tinggi. Setidaknya, Hazel harus beristirahat yang cukup agar kembali pulih. Dia saja kalau sakit biasanya membutuhkan waktu paling cepat dua hari untuk kembali beraktivitas.

"Kalau belum, aku nggak bakal dateng ke kantor, Rish," sahut Hazel sambil melipat lengan kemejanya hingga ke siku, menampilkan urat-urat di sekitarnya yang menonjol. Saat tengah bekerja, dia memang kurang suka kalau lengan kemejanya terkancing rapi, rasanya sulit untuk bergerak.

"Tapi, sebelum ke sini, kamu udah minum obat? Udah sarapan? Walaupun kamu udah ngerasa enakan, bukan berarti kamu bisa langsung berhenti minum obat. Nanti kalau sakitnya kumat lagi, gimana?"

Dan, terjadi lagi. Sifat Irish yang cerewet akhirnya keluar. Kalau masalah kesehatan orang lain, perempuan itu sangat memperhatikan, tapi kalau masalah kesehatan sendiri, kadang masih suka abai.

"Iya, Mama."

"Aku bukan mama kamu!" sanggah Irish cepat, yang dibalas tawa geli oleh Hazel.

"Memang bukan mama aku, tapi mama dari anak-anak kita nanti. Ini cuma simulasi sebelum aku beneran panggil kamu mama, Rish, biar anak kita terbiasa."

Bolehkah dia menyumpal mulut Hazel dengan lakban? Dia pikir, Hazel tidak akan lagi mengeluarkan kata-kata picisan yang membuatnya merasa geli, tapi nyatanya dia salah. Pria itu memang tak akan berubah.

"Nggak usah aneh-aneh, deh, Zel."Irish bersedekap dada di depan meja Hazel.

"Aneh gimana? Kamu nggak mau nikah dengan aku?" Hazel yang baru saja mendaratkan bokongnya di kursi, memajukan tubuh dengan jari-jari saling bertautan. Wajah Irish tampak terkejut dengan bibir yang sedikit terbuka. Hazel maklum. Mungkin, bagi Irish, pertanyaan yang dia ajukan cukup sensitif untuk dibahas di saat-saat mereka baru saja berbaikan. Kalau Hazel berada di posisi Irish, kemungkinan dia akan melakukan hal yang sama.

Hanya saja, percakapannya dengan sepupunya cukup mengganggu pikiran Hazel. Meski kata Alam, dia tetap akan membantu Hazel, tapi tentu bantuan Alam tidak sebebas sebelumnya lantaran ada istri yang harus dia urus. Dan, hal itu tentu menjadi pertimbangan Hazel selama belakangan ini. Hazel ingin mengikat Irish ke dalam komitmen yang lebih serius, semata-mata untuk mewanti-wanti sesuatu yang tak diinginkan terjadi, seperti beberapa tahun silam, yang juga menjadi alasan yang mendasari kepergian Hazel secara tiba-tiba.

"Zel, aku—"

"I know, Rish. Aku nggak bakal maksa. Pelan-pelan aja, jangan terlalu dipikirin, ya?" Hazel mengulas senyum manis, mencoba menenangkan Irish. Meski keras kepala dan selalu terlihat ceria, perempuan itu seringkali memikirkan perkataan orang lain di dalam benaknya, yang takutnya membuat Irish stres.

Irish hanya mengangguk lalu berderap menjauh dari meja Hazel. Dia memutuskan untuk berkeliling ruangan Hazel, siapa tahu ada yang menarik di mata. Sementara si pemiliknya hanya menatap Irish sebentar sebelum berkutat dengan pekerjaannya.

Ketika sedang melihat-lihat, Irish dibuat terpaku dengan lukisan yang sempat menarik perhatiannya; siluet sepasang kekasih yang sedang duduk berdampingan dengan tangan saling bertautan.

"Ini kamu pesan atau beli langsung, Zel?" Irish menoleh ke arah Hazel. Dia baru berani menanyakan tentang lukisan tersebut karena hubungan mereka yang sudah tidak bermasalah seperti dulu.

Missing VariableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang