Kepercayaan itu ibarat kaca. Sekalinya pecah, maka dia tak akan kembali utuh.
***
"Kalau ternyata bahagia semudah itu untuk didapatkan, kenapa kita masih mencari kebahagiaan yang sebenarnya sudah ada di depan mata?"Kebahagiaan yang ada di depan mata? Apa maksudnya?
Sudah terhitung satu jam berlalu dari sejak Hazel melontarkan pertanyaan ambigu tersebut, tapi hingga sekarang Irish masih belum menemukan jawabannya. Hujan masih mengguyur kota Jakarta, dan Irish masih berdiri diam di dekat dinding kaca, menatap langit yang semakin gelap pertanda hari sudah semakin sore. Penghangat ruangan yang menyala masih tak bisa menghilangkan hawa dingin yang membelai kulit lengan Irish, membuatnya seketika memeluk tubuhnya sendiri.
"Katanya kamu nggak suka hujan, tapi masih diem di sini. Lagi mikirin apa?" Kehangatan melingkupi tubuh Irish saat Hazel menyelimutinya dengan selimut tebal yang diambil dari kamar pria itu. Penampilan Hazel jauh lebih segar lantaran baru selesai mandi—mereka sempat cekcok kecil mengenai masalah ini, yang berakhir dimenangkan oleh Hazel—dengan rambut setengah basah.
"Aku nggak ada bilang kalau aku nggak suka dengan hujan. Tapi aku ngerasa biasa aja." Irish membantah seraya membenarkan letak selimutnya yang sedikit merosot.
Hazel hanya terkekeh kecil lalu menggeser posisinya menjadi di sebelah Irish. "Masih mikirin maksud aku yang tadi?" tebak pria itu, yang sayangnya benar. Senyum tipis terbit di bibir Hazel melihat keterkejutan Irish.
"Kenapa harus sesusah itu mikirin jawabannya, Rish? Padahal, jawaban itu udah sangat dekat dan jelas." Hazel memasukkan tangannya di saku celana. "Aku dan kamu bisa membentuk bahagia itu bersama-sama. Daripada saling menjauh yang justru menyakiti dan membohongi diri kita sendiri."
Irish membisu, dengan tatapan yang melekat pada manik Hazel. Jadi ... maksud pria itu adalah hubungan mereka? Apa yang Hazel harapkan setelah perpisahan beberapa tahun lalu? Apanya yang saling menyakiti? Bukankah hanya dia yang menjadi korban, sementara Hazel yang memutuskan untuk pergi? Rasa-rasanya, setiap kata yang keluar dari bibir Hazel terdengar penuh kepalsuan. Dan, seharusnya dia tidak percaya, tapi wajah Hazel menunjukkan keseriusan, menciptakan tanda tanya baru di kepala Irish.
Pria itu tidak sedang main-main, kan?
Tahu kalau Irish masih ragu, Hazel kembali mencoba untuk meyakinkan Irish. Dengan masa lalu mereka yang terbilang buruk, wajar kalau Irish memiliki banyak pertimbangan untuk menaruh rasa percaya lagi kepadanya, dan Hazel tak masalah kalau harus berjuang lebih keras demi mendapatkan kepercayaan itu.
"Apa aku masih punya kesempatan untuk menempati hati kamu sebagai pemiliknya lagi, Rish? Apa perasaan kamu untuk aku ... masih sama sampai hari ini?"
Irish masih diam. Hanya tatapannya yang saling beradu dengan kelereng milik Hazel, menelusuri kedalamannya yang seringkali membuatnya tersesat hingga sulit untuk kembali. Setelah beberapa saat membungkam mulut, akhirnya Irish bertanya dengan lirih, "Kenapa? Kenapa kamu tanya hal itu di saat ada Ayana yang siap untuk mengisi hari-hari kamu?"
"Karena cuma kamu yang aku butuhin, Rish, bukan Ayana. Sesederhana cinta itu hadir, sesederhana itu juga aku menginginkan kamu."
Berlatarkan hujan deras disertai kilat yang menyambar, Irish dibuat tertegun dengan pernyataan Hazel. Jari-jarinya mencengkeram selimut kuat-kuat, menahan diri untuk tidak segera memeluk Hazel yang tengah menatapnya lamat-lamat. Pria itu ... kenapa semakin berusaha untuk merobohkan dinding pertahanannya? Bagiamana Irish bisa cepat move on kalau Hazel justru terus-terusan memborbardirnya dengan kata-kata manis?
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...