Munafik kalau aku berkata ingin pergi, karena nyatanya, sejauh apa pun aku berlari, aku tetap akan berhenti di pelukanmu.
***
Pemandangan jalanan yang tampak padat seolah-olah mewakili isi pikiran Hazel yang penuh, bahkan rasanya kepala pria itu ingin pecah saat sebuah undangan pernikahan dengan tinta emas yang elegan nan megah berada dalam genggamannya. Alam dan Violet. Dua nama insan yang akan melangsungkan janji sehidup-semati di sebuah hotel ternama di Jakarta itu membuat Hazel menghela napas berulang kali, bingung bagaimana harus meresponsnya."Jangan lupa dateng, Zel. Bawa amplop yang banyak supaya nggak malu-maluin keluarga besar."
Hazel melirik pria yang berdiri di sebelahnya dengan seringai tipis. Dia memasukkan kedua tangannya di saku, menatap lurus ke depan. Dari lantai dua puluh di sebuah apartemen yang tak kalah elit dari apartemennya, kendaraan yang tengah berlalu-lalang di bawah sana tampak kecil, yang membuat Hazel langsung mengerti kalau setinggi apa pun tempatnya sekarang, dia tidak boleh lupa kalau ada hal yang lebih besar darinya; takdir. Tak peduli seberapa jauh dia terbang, nyatanya takdir mampu menjatuhkannya hingga ke dasar jurang.
"Kamu benar-benar bakal menikah, Al? Secepatnya?" Pertanyaan yang Hazel luncurkan menimbulkan kernyitan di dahi Alam. Dia memiringkan kepala, menatap Hazel yang entah kenapa rautnya berubah muram, tak sperti tadi yang masih segar. Memang, dia sengaja menemui Hazel di kantornya. Selain untuk membahas mengenai desain interior rumah masa depannya dengan sang istri yang hampir selesai, alasan kemunculannya adalah untu memberikan undangan tersebut kepada Hazel.
Namun, bukan ini respons yang ingin dia dapatkan dari pria yang berstatus sebagai sepupu dari pihak ayahnya itu. Hazel terlihat seperti seorang pria yang sedang putus cinta lantaran mendegar kalau sang pujaan sudah menemukan tambatan hati.
"Ya, iya. Kapan lagi? Gue udah yakin sama Violet, apalagi lo tahu sendiri kalau gue dan Violet udah berhubungan lama. Gue nggak mau gantungin dia, Zel."
"Kenapa di saat kayak gini kamu baru bilang, Al? Di saat saya akan memulai kembali hubungan saya dengan Irish." Hazel mengusap wajahnya, kasar. Sungguh, dia tak percaya kalau sesuatu yang sempat dia wanti-wanti, akhirnya benar-benar terjadi dengan begitu cepat.
Alam mengerjap dua kali. "Tunggu-tunggu. Lo dengan Irish ... what? Kalian udah ketemu dan balikan? Are you serious, Zel?" Wajar dia terkejut dengan ucapan Hazel, karena perpisahan Hazel dan Irish di masa lalu ada sangkut paut dengan dirinya. Alam pikir, Hazel sudah melupakan Irish dan tak akan lagi bertemu dengan perempuan itu, tapi kenyataan berkata sebaliknya.
Pantas saja Hazel seakan-akan tak sabar untuk kembali ke Indonesia. Komunikasi yang sempat terhenti sepertinya membuat Alam tak mengetahui banyak tentang kehidupan Hazel.
"Belum. Kami belum balikan, saya cuma sedang mengusahakan hubungan yang seharusnya memang tak pernah usai." Hazel menunduk sebentar lalu berbalik, menjauhi dinding kaca apartemen Alam. Terlalu lama berada di sana semakin menambah rasa pusing Hazel.
"Oh my..." Pria yang usianya lebih muda tiga bulan dari Hazel itu, refleks menutup mulut. Niat hati datang ke Indonesia untuk menyebarkan berita bahagia, dia justru mendapati masalah baru yang dimulai olehnya. "Lo kenapa nggak bilang sebelumnya dengan gue?"
"Untuk apa? Kamu mau jadi mak comblang? Atau mau jujur ke Irish tentang motif di balik saya yang meninggalkan dia?" Hazel berjalan ke dapur Alam yang tidak bersekat lalu meletakkan surat undangan di atas meja. Membuka kulkas Alam, dia mengambil sekaleng soda dan meneguknya cepat. Untuk ukuran orang yang baru pindah selama beberapa hari, Alam cukup niat mengisi kulkasnya dengan berbagai macam makanan maupun minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...