Pria pemaksa itu nyatanya pernah membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya.
***
Ternyata salah besar kalau mengira Hazel akan membiarkan Irish hidup dengan tenang setelah dia menerima—dengan terpaksa—tawaran pria itu untuk menjadi asisten pribadi. Karena nyatanya, begitu mereka selesai sarapan bubur ayam di pinggir jalan dekat kampus, Hazel membawa Irish ke mall. Katanya, sih, ingin membeli keperluan.Sebenarnya, Irish tak masalah dengan ajakan tersebut. Hanya saja, penampilannya masih acak-acakan, seperti orang baru bangun tidur yang dipaksa untuk belanja di warung. Tadi saja, saat makan, dia sudah malu lantaran beberapa orang menatapnya aneh. Dan sekarang, apalagi yang sudah pria itu rencanakan?
"Kamu aja yang masuk, aku tunggu di sini." Irish berusaha menolak saat Hazel mengajaknya untuk ikut masuk ke mall.
Hazel yang baru turun dari mobil dan hendak menutup pintu, seketika menunduk, menatap Irish yang masih anteng duduk di bangku penumpang. "Kenapa? Kamu nyuruh aku sendirian ke dalam?"
Irish mengangguk. Lagi pula, Hazel ingin membeli keperluannya saja, kan? Jadi untuk apa Irish ikut masuk kalau hanya menjadi anak ayam yang mengekori induknya? Lebih baik dia diam di mobil sambil mengumpulkan banyak energi dan kesabaran untuk menghadapi Hazel mulai besok.
Ya, sesuai kesepakatan—meski faktanya Hazel yang lebih dominan—mulai besok, Irish sudah bisa bekerja. Seharusnya dia senang, karena itu berarti, predikat pengacara, pengangguran tak punya acara, segera hilang dari diri Irish, tapi sungguh. Apa yang harus disenangi oleh Irish dari bekerja bersama Hazel?
Cinta lama bersemi kembali? Oh, tidak mungkin. Kebenciannya terhadap Hazel lebih besar daripada keinginannya untuk berbaikan atau bahkan menjalin kembali hubungan yang sudah rusak. Dia hanya mencoba berdamai untuk sementara waktu demi profesionalitas kerja.
"Anggap aja ini sebagai simulasi sebelum kamu kerja sama aku. Jadi, kamu harus ikut."
Kalimat yang terkesan paksaan itu membuat Irish mendengkus sebal. Lihat! Dia belum bekerja saja Hazel sudah berani memberi perintah padanya, apalagi nanti. Bisa-bisa stok kesabaran Irish habis sebelum waktunya.
"Kamu nggak lihat penampilan aku kayak gembel gini?" tanya Irish, mencari pembelaan.
Alis Hazel terangkat satu. Sebelah tangannya bersandar di pintu mobil sementara tangan satunya berkacak pinggang.
"Enggak. Aku lihat penampilan kamu kayak orang pada umumnya. Memang kenapa? Kamu ada masalah sama bajunya? Atau..." Mata Hazel menyipit, seakan-akan sedang mencurigai sesuatu. "Kamu mau gaet laki-laki di dalam sana? Makanya kamu nggak percaya diri berpenampilan kayak gitu."
"Kamu udah gila, ya?" Tanpa sadar Irish memekik. Apa yang ada di otak pria itu hingga bisa berasumsi demikian? Irish tidak se-menyedihkan itu sampai-sampai mencari pria di mall. Kalaupun dia ingin memutuskan untuk menjalin hubungan lagi, tentu dia akan mencari pria di tempat lain. Perpustakaan atau museum seni misalnya.
Pokoknya yang jauh-jauh dari modelan seperti Hazel, deh!
Hazel mengangkat bahu tak acuh. "Just my opinion. Banyak, kok, orang ke mall cuma pake kaus sama celana pendek aja."
"Ya, itu kan, mereka. Bukan aku."
Hazel menghela napas seraya menegakkan tubuh. "Oke, kalau kamu nggak mau. Berarti besok tugas kamu double."
"Loh, loh. Double gimana?" Mata Irish melotot. Bagaimana bisa tugasnya menjadi double sedangkan bekerja saja dia belum?
"Ya, double. D-O-U-B-L-E. Karena kamu nggak mau anterin aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomanceIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...