14. Gagal Sudah

171 16 0
                                    

Setiap waktu yang kita habiskan, nyatanya mengukir kenangan yang tak akan bisa tergantikan.

***


Ini aneh. Padahal, Irish sudah terbiasa melihat gaya berpakaian Hazel yang bermacam-macam, tapi entah kenapa dia merasa kalau Hazel tampak lebih keren saat memakai baju pilihannya, sampai-sampai Irish harus mengingatkan dirinya sendiri supaya tidak jatuh ke dalam pesona pria itu.

"Ternyata, selera kamu bagus juga, ya, Rish." Hazel menyugar rambutnya ke belakang, yang tanpa sadar membuat Irish mengepalkan tangannya di sisi-sisi tubuh, berusaha agar tidak segera menerjang Hazel.

Sadar, Rish. Dia itu mantan yang pengin kamu hilangkan dari muka bumi ini!

"Cuma itu aja, kan? Jadi tugas aku udah selesai." Sungguh, Irish ingin cepat-cepat keluar dari kamar Hazel. Berabe kalau mereka masih bersama di sini, berdua saja pula.

"Eh? Enggak, dong. Tugas kamu belum selesai, Rish." Hazel menggeleng, menahan kepergian Irish. Pria itu berjalan mendekat, yang mana tiap langkahnya justru semakin memperkuat degup jantung Irish. Kali ini, dia benar-benar mati kutu. Rasanya Irish ingin mengubah baju pilihannya untuk Hazel. Minimal supaya Hazel tak terlihat seperti eksekutif muda yang biasa dipajang di majalah Forbes. Irish tebak, karyawan-karyawan di kantor atau perempuan yang bertemu Hazel, pasti akan menengok dua kali lantaran terpana.

"Apalagi, Zel?" Beruntung, Irish mempunyai mata sayu yang membantunya untuk tampak sinis di beberapa kesempatan, contohnya sekarang. Ya, walaupun terkadang justru seakan-akan dia adalah pribadi yang selalu mengantuk—sebuah fakta tersembunyi dari Irish.

"Aku lapar, Rish. Semalam, aku lupa makan. Jadi, lapernya dua kali lipat." Hazel meletakkan tangannya di perut, mengelusnya berulangkali dengan wajah memelas. Ini bukan sekadar mengada-ada untuk melancarkan modus seperti yang biasa dia lakukan, tapi serius. Semalam, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga jam makan malamnya lewat. Maklum, perempuan yang dia harapkan menjadi alarm pengingat, masih berusaha dia perjuangkan. Dia juga tidak punya waktu untuk menawarkan peran tersebut kepada perempuan lain. Tak minat.

"Kamu bisa beli di luar atau pesan online. Masih ada waktu sebelum ke kantor." Alih-alih menawarkan bantuan untuk memasak—dia sendiri tidak berteman akrab dengan perkakas dapur—Irish justru memberikan beberapa opsi. Di rumah saja, dia keseringan pesan online atau numpang makan dengan Mauve.

"Apalagi itu, Rish. Karena masih ada waktu, aku pengin makan masakan kamu."

"Gila, kamu!" Mudah sekali mulut Hazel berbicara. Sepertinya mulut pria itu belum pernah disumpal sandal tidur bergambar angry bird milik Irish. Bukankah Hazel sudah tahu kalau Irish paling payah kalau urusan masak-memasak? Bahkan, saat masa pacaran mereka, Hazel selalu mengajaknya makan di luar.

"Iya, aku memang gila. Tergila-gila sama kamu lebih tepatnya. Memangnya, selama ini kamu nggak belajar masak, Rish?" Hazel buru-buru menambah kalimat terakhirnya ketika mata Irish sudah mendelik sinis bak laser yang siap membunuhnya.

"Kamu kira aku ada waktu untuk belajar masak? Kalau bisa pesan online, kenapa harus repot-repot?" Hidup hanya sekali, jadi gunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Jangan dibuat rumit. Terlebih, di masa modern ini, apa pun yang  dibutuhkan sudah ada dalam bentuk praktis, terkecuali dalam hal mendapatkan uang yang membutuhkan tenaga dan kemampuan untuk bekerja.

Hazel mengangguk dengan tangan tenggelam di saku. "Bener, sih. Aku nggak masalah kalau nantinya kamu nggak mau masak dan milih pesan online. Tapi, kita butuh MPASI, Rish."

"MPASI?" beo Irish.

"Iya. Bayi kita butuh MPASI dari umur enam bulan. Aku harap kamu bisa belajar untuk itu." Setelah berkata begitu, dengan langkah seribu, Hazel keluar dari kamarnya, meninggalkan Irish yang kekesalannya sudah berada di ujung tanduk. Dia telan kembali isi hatinya yang mengatakan kalau dia terpesona dengan Hazel.

Missing VariableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang