15. Sakit Perut

173 18 0
                                    

Tanpa disadari, dinding yang semula terbentang kokoh, kini sedikit demi sedikit mulai runtuh.

***


"Pagi, Pak Hazel."

"Jas, tolong mundurin jadwal saya selama beberapa jam ke depan." Tanpa membalas sapaan Jasmine seperti yang biasa dilakukan, Hazel malah meminta perubahan jadwal. Mulut Jasmine terbuka, hendak mengajukan protes, tapi urung lantaran Hazel sudah lebih dulu masuk ke ruangannya, meninggalkan Jasmine dan Irish yang saling pandang satu sama lain.

"Pak Hazel kenapa, Rish?" Dari balik mejanya, Jasmine bertanya pada Irish, yang diyakini kemungkinan besar tahu alasan Hazel bersikap demikian. Terlebih, ekspresi pria itu sama sekali tak enak, kusut. Seperti cucian yang tidak disetrika berhari-hari.

Irish meringis kecil dengan tangan yang menggaruk lehernya. "Pak Hazel sebel karena terlambat, Mbak."

Jawaban Irish membuat Jasmine mengangguk, mengerti. Memang, hari ini Hazel 5 menit datang lebih terlambat dari biasanya, yang sempat menimbulkan kebingungan di benak Jasmine. Pasalnya, selama bekerja dengan Hazel, dia mengenal pria itu sebagai pribadi yang disiplin, selalu memanfaatkan waktu dengan efektif dan efesien. Bahkan, tak jarang justru Jasmine yang datang saat Hazel sudah duduk manis di kursi kebesarannya.

Menjadi sekretaris dari seorang desain interior yang lebih sering menghabiskan waktu di luar kantor membuat Jasmine paham alasan Hazel selalu gerak cepat; Jakarta dan kemacetannya yang tak bisa dihindari. Sikap profesionalitas Hazel yang tidak ingin mengecewakan klien patut diacungi jempol.

"Terus, kenapa Pak Hazel minta jadwalnya dimundurin? Beliau ada jadwal personal? Atau mau kencan buta?"

Irish hampir tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar tebakan Jasmine. Apa katanya? Kencan buta? Kalau memang hal itu terjadi, Irish mungkin akan mengadakan acara tumpengan satu kelurahan. Karena itu artinya, dia bisa bebas dari Hazel. Tidak perlu lagi menahan mual setiap kali Hazel mengeluarkan kalimat-kalimat picisannya.

"Mungkin ada jadwal personal, Mbak. Aku juga kurang tahu. Ehm, aku masuk dulu." Irish tersenyum tipis dan buru-buru masuk ke dalam ruangan Hazel, enggan menerima pertanyaan lanjutan yang ditakutkan bisa menjadi bumerang untuknya kalau sampai salah bicara.

"Zel? Kamu cari apa?" Irish mengerutkan kening melihat Hazel yang tampak kelimpungan seraya mengobrak-abrik laci meja.

Hazel hanya melirik sebentar. "Rish, bantu aku cari minyak telon, dong. Perut aku mules banget!"

Irish menjilat bibir bawahnya, merasa bersalah. Sungguh, dia tak memperkirakan kejadian ini akan menimpa Hazel. Tanpa diminta dua kali, perempuan itu langsung membantu Hazel mencari benda tersebut.

Sebenarnya, alasan utama Hazel datang terlambat adalah karena perutnya tiba-tiba mulas setelah memakan telur dadarnya hingga membuatnya bolak-balik toilet. Irish sendiri tak merasa mencampurkan bahan-bahan yang aneh di telur dadar buatannya. Dia sempat tersinggung, mengira kalau Hazel hanya ingin mengolok-oloknya, tapi begitu dia mencicipinya sedikit, Irish langsung berpikir kalau dia juga pasti akan mulas seperti Hazel.

Rasanya itu, loh ... tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Perpaduan gosong dan asin benar-benar tercampur sempurna. Barangkali dia tak sengaja memasukkan garam dan mecin cukup banyak di sana. Pantas saja Hazel terlihat sangat menderita di detik-detik terakhir pria itu menghabiskan telur dadarnya.

"Ini, Zel, minyak telonnya." Irish menyodorkan botol minyak telon yang masih terisi penuh kepada Hazel. Saking mulesnya, Hazel sampai lupa kalau di ruangannya ada kotak P3K dengan obat-obatan lengkap.

Missing VariableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang