Ternyata, meski selalu berkata tidak, hatiku tetap luluh dengan tatapanmu yang menjadi salah satu alasanku untuk jatuh cinta.
***
Walaupun sempat kesal dengan Hazel yang sudah membuatnya seperti orang bodoh, Irish tetap bersyukur karena pria itu berinisiatif untuk membawanya pergi dari rumah supaya tidak bertemu Mauve. Dia masih belum siap untuk dipergoki perempuan itu saat tengah bersama Hazel.
Namun, ada sedikit kekhawatiran di benak Irish mengenai pintu rumahnya yang belum ditutup. Kepanikan yang mendominasi membuat Irish tak bisa berpikir jernih. Dia hanya berharap agar Mauve menutup pintu rumahnya sampai dia kembali.
“Kamu nggak mau ganti celana?”
Mendengar suara di sebelahnya, Irish sontak menoleh. Hazel sedang menatapnya dengan tubuh yang dimiringkan, menghadap Irish. Mobil sudah berhenti, cukup jauh dari rumah Irish.
“Ngapain ganti celana? Aku nggak ke mana-mana lagi, mau langsung pulang.” Lagi pula, mereka ada di mobil. Kalaupun Hazel takut handuk Irish terlepas, itu akan mungkin terjadi kalau Irish berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik. Sementara dia kini hanya duduk di bangku penumpang. Jadi, kenapa malah Hazel yang was-was?
“Aku udah bilang kalau kamu harus temani aku sarapan.”
Irish mengernyit, tak setuju. “Aku udah nolak. Kenapa masih dipaksa?”
“Jadi kamu nggak mau? Terus, gimana sama baju aku yang basah dan air mata kamu? Tenaga aku yang harus mengemudikan mobil untuk antar kamu pulang?”
Irish membuang napasnya kasar. Jujur saja, selain penampilan Hazel yang berbeda, sifat pria itu juga berubah semakin menyebalkan. Sejak mereka masih pacaran, Irish paling tidak suka dengan sifat Hazel yang satu itu. Tidak mau mengalah. Membuat keduanya kerap kali cekcok karena hal-hal sepele.
“Kayaknya, yang peluk aku duluan itu kamu. Yang inisiatif bawa aku pulang juga kamu. Tolong jangan playing victim.” Meski Irish sedikit malu untuk kembali mengungkit kejadian kemarin—masih tak percaya karena membalas pelukan Hazel yang sudah lama sekali tak pernah dia lakukan—tapi dia tidak terima kalau Hazel menganggapnya sebagai orang yang lepas tanggung jawab.
Hazel diam sebentar lalu mengangguk. Tubuhnya bersandar di punggung bangku kemudi. “Oke. Kalau gitu, kamu boleh pulang.”
Irish mengerjap, tak percaya dengan ucapan Hazel yang terkesan santai. Serius, pria itu ingin menurunkannya di jalanan dengan handuk yang masih menempel dan kaus tipis kebesaran yang mampu membuatnya masuk angin?
Ego Irish tersentil. Jadi, karena merasa sudah menolongnya, Hazel langsung besar kepala? Lama tak bertemu, Hazel menjadi semakin semena-mena.
Irish mendengkus sebal. “Ya, udah. Tanpa kamu, aku bisa pulang sendiri.”
Alih-alih bersikap baik supaya Hazel kembali membawanya pulang, Irish justru menerima tantangan Hazel. Memang, pria itu pikir, Irish tak bisa apa-apa tanpanya? Walaupun dengan penampilan terburuk sekalipun, kalau demi menyelamatkan harga dirinya, Irish akan melakukan hal tersebut.
Kali ini, giliran Hazel yang panik. Niatnya hanya bercanda sekaligus sedikit mengancam Irish supaya mau menemaninya sarapan, tapi perempuan yang keras kepalanya melebihi terumbu karang itu malah menganggapnya sungguhan.
Hazel tentu tak ingin kalau Irish benar-benar pulang dengan keadaan seperti itu. Dia tak mau Irish mendapat tatapan aneh ataupun yang lainnya dari orang-orang. Alhasil, ketika Irish hendak membuka pintu mobil, Hazel cepat-cepat menahannya.
“Apa, sih? Aku mau pulang.” Irish berusaha melepas pegangan Hazel, meski gagal.
“Aku cuma bercanda, Rish. Nggak mungkin aku biarin kamu pulang sendirian kayak gini.” Hazel mencoba menjelaskan, tapi yang didapat hanyalah dengkusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Variable
RomansaIrish sangat menentang kisah lama yang terulang kembali. Menjalin hubungan dengan mantan adalah salah satu hal yang harus dihindari, dan dia akan selalu melarikan diri dari manusia bernama mantan itu. Namun, siapa sangka. Gangguan dari pria yang pe...