18🌱

33 7 2
                                    

"Mengikhlaskan itu yang paling sulit"
-Cia🌱


Jika kalian berfikir bahwa perebut paling hebat adalah orang ke-tiga, maka sejatinya kalian tidak pernah mempertimbangkan perebut lainnya.

Perebut paling hebat adalah maut. Maut datang tidak pernah ada yang menyambut, namun tidak pernah gagal membuat kalut. Jadi, selagi masih ada waktu jangan pernah sia-siakan untuk membuat kenangan bersama orang-orang yang istimewa di hidup kita. Sebelum mereka tutup usia, dan sebelum maut menjemput mereka.

Jika Cia bisa meminta kepada Tuhan untuk mengulang waktu lewat doanya, akan Cia lakukan sampai doanya di kabulkan. Meski harus mengulang doa itu seribu kali.

Cia sangat menyesali kecerobohanya. Harusnya dulu Cia mendengarkan penuturan sang mamah, harusnya Cia tidak pergi untuk menemui Hamka dan meninggalkan mamah di rumah. Harusnya seperti itu jika Cia tau mamah akan menutup usianya.

"Jangan lama-lama, di sini mamah juga butuh kamu."

"Masih ada papah, Mah"

"Tapi, papah kamu sibuk ngurus kantor. Mamah gak mau nyusahin papah kamu"

"Oh jadi, mamah tega nyusahin Cia?" Cia memanyunkan bibirnya.

Nadya mengusap surai hitam Cia lembut, "Bukan gitu, sayang. Kamu anak satu-satunya mamah, kamu harapan mamah. Seiring berjalannya tahun usia mamah bertambah tua, jadi suatu saat mamah bakal butuh kamu"

Andai saja Cia dapat mengartikan ucapan mamah waktu itu, Cia akan mengurungkan niatnya untuk pergi. Dari pada hidup Cia berakhir berandai-andai dan menyesal seperti sekarang.

"Ci ..."

Cia mengusap air matanya kasar, mengabaikan suara berat milik Injun.

"Gue turut berduka, Ci, atas peninggalan tante Nadya"

Pemuda Hwang itu ikut berjongkok di samping nisan Nadya.

"Jangan anggep ini semua salah lo, Ci. Ini semua udah takdir, lo harus ikhlas dan tabah" ucap Injun menenangkan.

Cia menahan isak tangisnya, berusaha untuk tegar di depan Injun. Walau kenyataannya Cia ingin menangis. Sulit bagi Cia untuk mengikhlaskan sang mamah, rasanya ini hanya mimpi buruk yang tidak ada penghujungnya.

Injun mengusap lembut punggung Cia, menatap iba gadis itu.

"Kalo mau nangis, nangis aja. Nangis itu bukan berarti kita lemah, tapi nangis itu ungkapan yang pas buat orang yang lagi sedih. Jangan di tahan, ya" setelah mengatakan itu, Injun mendengar suara isakan Cia yang terdengar begitu pilu di telinganya.

Pelan-pelan Injun membawa Cia dalam dekapannya, mengusap surai hitam Cia lembut.

"Kenapa kalian gak ada yang bilang sama gue?!"

"Kenapa kalian nyembunyiin ini dari gue?!"

Tangis Cia pecah dalam dekapan Injun, tangannya setia memukuli dada bidang pemuda Hwang itu.

Injun mengeratkan pelukannya, menarik tubuh Cia lalu menenggelamkan Cia dalam pelukannya.

"Maaf ..." gumam Injun masih terdengar jelas di telinga Cia.

"Kata maaf gak bisa jelasin semuanya ke gue, Njun" baru kali ini Cia merasa kesal dengan Injun, baru kali ini juga Cia mengabaikan ketampanan milik Injun. Biasanya jika Cia bertemu dengan Injun, Cia akan bertingkah berlebihan untuk menggoda pemuda itu, walau sebenarnya hanya bercanda.

Injun melepaskan pelukannya, mencekram kedua pundak Cia lalu menatap dalam mata manik gadis itu.

"Oke, kalo kata 'maaf' gak bisa jelasin semuanya buat lo, gue bakal jelasin kebenarannya. Tapi lo harus janji sama gue, setelah gue jelasin semuanya lo gak boleh nyalahin diri lo sendiri"

Korban GhostingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang