19

45 9 5
                                    

"Ketika kamu takut kehilangan sesuatu, sejatinya kamu sedang lupa. Bahwa tidak ada yang melekat pada dirimu, melainkan ia hanya sekedar titipan"
-CIA🌱

Sudah dua minggu kepulangan Cia ke Jogja, kini gadis itu kembali lagi ke Jakarta kemarin.

Cia belum mengabari Hamka, bahkan pesan dari laki-laki itu belum terbaca sama sekali. Cia memang marah kepada Hamka, tapi di sisi lain Cia juga merindukan Hamka. Sejak kembalinya Cia di Jakarta, Cia belum bertemu dengan Hamka, bahkan di rumahnya pun Hamka tidak nampak sebatang hidung pun.

Pada akhirnya Cia merogoh sesuatu di dalam sakunya, mengambil benda pipih berlogo apel itu. Lalu mengirimkan pesan singkat kepada sosok yang ada di pikirannya.

Butuh waktu dua menit pesan Cia baru di balas. Cia mengukir senyum tipis melihat balasan dari Hamka, kemudian gadis itu bergumam kecil.

"Gue lebih kangen lo, Ka"

Sadar dengan ucapannya, Cia pun langsung bersiap-siap untuk keluar menemui Hamka.

][☆☆☆][

Di bangku taman kota di mana gadis berdarah Jogja itu berada, menunggu seseorang yang entah akan datang atau tidak membuatnya berkali-kali mendengus kecewa.

Sembari menunggu Hamka, Cia membaca isi pesannya dengan Hamka di masa lalu, dengan perlahan mengeja satu persatu kenangan yang kembali memenuhi ruang ingatan tentang Hamka.

Tentang gelak tawa, tentang air mata, tentang waktu dan juga tentang setangkup rasa. Namun, justru yang terakhirlah yang kemudian membuat begitu banyak luka dalam dada setelah menemui Hamka secara nyata.

Hingga membuat Cia merasa jatuh dan patah, bahkan Cia pernah merasa begitu terpuruk hingga tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk terpuruk karena cinta. Lalu waktu mengobati dengan hati-hati, tapi kepada rindu Cia tak pernah bisa sembunyi.

Malam ini sosok Hamka datang, sosok yang berhasil membuat Cia melayang jauh dan gila akan cinta. Lalu Cia memeluk erat tubuh Hamka hingga tak ingin melepaskan laki-laki itu. Dan Cia kembali membenci dirinya sendiri.

Hamka tidak membalas pelukan Cia, yang bisa Hamka lakukan hanya diam mematung membiarkan Cia memeluknya erat meski tak mendapatkan balasan.

"Gue kangen sama lo, Ka" ucap Cia masih di dalam pelukan Hamka.

"Gue juga. Tapi, kita gak bisa kaya gini" Hamka mepelaskan pelukan Cia pelan-pelan.

"Gue bukan Hamka yang dulu, bukan Hamka yang lo kenal, bukan juga Hamka yang pengertian sama lo. Sekarang gue Hamka yang merasa iba dan kasian sama lo" ucap Hamka menatap datar wajah Cia.

Cia menatap Hamka tidak percaya, dari mana Hamka mendapatkan kalimat yang membuat Cia sakit hati di saat Cia membutuhkan ketenangan dari Hamka.

"Dan gue udah jadi suami orang" lanjut Hamka setelah menelan salivanya susah payah.

Lantas Hamka menarik nafas dalam, memalingkan pandangannya dari wajah cantik milik Cia.

"Kenapa orang yang gak enakan ketemunya sama orang yang gak tau diri? Misalnya kayak gue sama lo. Lo yang selalu perhatian ke gue, dan gue yang merasa kasihan sama lo akhirnya balik perhatian ke lo. Tapi sayangnya lo salah mengartikan, ya?" Hamka terkekeh remeh membuat harga diri Cia merasa di rendahkan.

Ternyata ini semua hanya bentuk perhatian tanpa arti. Memang seharusnya dari awal Cia menyadari dan berhenti berharap kepada Hamka. Karena yang terlihat di mata Hamka hanya tatapan melas dan kasihan. Dan semua yang Cia lakukan untuk Hamka hanyalah pengorbanan sia-sia yang pernah Cia alami dan tidak pernah di hargai oleh Hamka.

Melihat Hamka yang seperti ini membuat Cia ingat dengan ucapan Injun dua minggu yang lalu sebelum Cia kembali ke Jakarta.

"Stop ngejar cinta yang salah, Ci. Lama-lama naluri lo bakal mati kalo kayak gitu terus. Gak ada untungnya pertahanin cinta yang salah. Yang bakal lo dapetin cuman seberkas luka kepedihan, cinta gak bawa lo ke surga, terus buat apa sih pertahanin sesuatu yang gak ada artinya?"

"Lagian lo sama Hamka cuman sekedar temen kan? Kalian juga beda agama. Terus lo bilang Hamka bakal di jodohin juga sama ayahnya. Apa lagi yang lo harapin sama Hamka?"

Naasnya Cia baru menyadari sifat bajingan Hamka sekarang.

Sepertinya sifat kepekaan Cia untuk menyadari seberapa brengseknya seseorang hanya di bawah 65%.

Cia menghapus jejak air matanya kasar, menatap Hamka dengan tatapan sulit di artikan.

"Oke, makasih banyak buat semua yang lo lakuin ke gue. Kenal sama lo aja udah cukup buat gue bahagia, kok. Lo bahagia, gue juga bakal bahagia, Ka" perlahan bibir merah alami Cia terangkat mengukir senyuman tipis.

"Dari sini gue sadar kalo cinta gak bisa di paksain, gue juga sadar kalo gue gak ada hak buat ngelarang lo pacaran sama siapa pun. Lupain soal kita yang pernah jaga komitmen" dari senyuman tipis itu menjadi senyuman miris.

"Maaf, karena gue yang terlalu berharap sama lo. Dan lupain aja soal gue sayang sama lo, anggap aja kita gak pernah kenal."

Hamka kembali menatap Cia, di lihatnya wajah cantik itu sedang memasang raut sendu.

"Jangan telat makan ya, Ka. Jangan berantem lagi sama ayah, dan jangan bolos ibadah. Mungkin ini pesan terakhir dari gue, gak tau berguna atau gak bagi lo"

Cia mengigiti bibir bawahnya sekilas, kedua tangannya mengepal kuat, matanya membendung cairan liquid bening.

"Makasih udah mau kenal sama gue. Gue harap lo bisa bahagia sama___Karina? Nama yang cantik, pasti orangnya lebih cantik"  gumam Cia di akhir kalimat yang sempat ia jeda.

Hamka mengangguk, Hamka tidak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum tipis. Tapi Hamka sangat berterima kasih kepada Cia, karena Cia bisa mengerti keadaan Hamka.

Karena sekarang Hamka bukan laki-laki lajang lagi, bukan laki-laki yang bebas mendekati wanita lain, bukan juga laki-laki yang harus memperhatikan Cia yang bukan siapa-siapanya. Ada Karina yang harus Hamka jaga dengan sepenuh cinta sebagai istrinya. Hamka tidak boleh menyakiti perempuan yang sudah menjadi pendamping hidupnya, dan tidak boleh mengecewakan ekspetasi ayah.


[☆☆☆]


"Tindakan kamu itu benar, Ka. Jadi, jangan merasa terbebani sama ucapan kamu ke Cia" ucap Karina setelah memasukan pakaian Hamka ke dalam koper. Lalu Karina menghampiri Hamka yang sedang duduk di sisi ranjang.

Hamka tidak merespon, laki-laki itu setia memasang wajah kosong sejak sampai di rumah miliknya.

Merasa di abaikan sang suami, Karina pun mengusap punggung sang suami lembut, "Mending kamu istirahat sekarang, besok kan keberangkatan kita buat bulan madu ke Bali"

Hamka melirik Karina datar. Jika bukan karena keinginan ayah nya, maka Hamka tidak sudi untuk menikah dengan Karina. Apalagi Hamka tidak memiliki perasaan cinta secuil pun kepada Karina.

Entah seperti apa sosok Karina yang sebenarnya, Hamka belum mengenalnya lebih jauh. Meski Karina adalah anak dari majikan sang ayah, namun sepertinya Hamka tidak fikir pusing untuk mencari tahu tentang Karina. Dulu yang ada di fikiran Hamka adalah Cia, hanya Defanya Ciara.
















_TBC_



Aku usahain buat up date cepet setelah dua chapter ini.

Semoga masih ada di reading list kalian😅

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Korban GhostingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang