Halo!
Aku sebenarnya nggak ahli bikin cerita sedih, tapi ya semoga dapat deh feel-nya. Hehe...Selamat membaca!
***
"Kamu nggak ada niat untuk nyambung ke paket gitu, Gis?" tanya Ibu setelah membantu memandikan Gibran. "Biar nggak malu-malu banget cuma punya ijazah lulusan SMP."
Aku tidak menyahut. Semenjak perceraianku dengan Mas Abraham dua minggu lalu, semuanya menjadi serba hitam. Duniaku menggelap. Kehidupan sosialku semakin terbelakang. Bahkan untuk keluar rumah pun bagai bala besar. Tatapan orang-orang terlalu mengancam keberadaanku. Ini rasanya sangat tidak adil. Tapi, ke mana aku harus mengadu?
Waktu kecil, aku selalu patuh untuk belajar mengaji ke TPA. Tidak pernah sekalipun absen mendengarkan ceramah tentang balasan Tuhan akan perbuatan baik. Karena itulah, sampai tiga tahun lalu, aku masih rutin berdoa dan meminta hal baik pada-Nya. Meski sampai sekarang aku belum pernah merasakan yang namanya balasan baik itu. Semuanya seperti abu-abu hingga rasanya sulit untuk percaya bahwa Tuhan itu benar adanya.
"Giselle Cantika, kamu dengar Ibu nggak, sih?"
Aku menoleh sebentar, lalu kembali fokus pada bedak yang akan ditaburkan ke perut Gibran. "Hm," sahutku seadanya.
"Kita boleh miskin, Nak, tapi jangan terlalu bodoh."
Dulu Ibu juga pernah berkata, "Kita boleh miskin, Nak, tapi harga diri jangan mau dinjak-injak. Jangan biarkan orang kaya membeli dengan murah lalu mencampakkannya begitu saja."
Kurasa, perkataan Ibu waktu itu adalah doa. Buktinya aku menjual harga diriku dengan murah, terlalu gampang untuk dibujuk dan digoda, dan kini dicampakkan bagai sampah tak bisa didaur ulang.
"Ayahmu sudah mau pensiun tahun depan. Gaji yang disimpan sejak tahun lalu rasanya sudah lebih dari cukup untuk mendaftar ke Paket C. Untuk ke depannya lagi, kita cuma bisa mengharapkan tunjangan dari pemerintah."
Aku menghela napas, lalu memindahkan Gibran ke tengah kasur setelah memberikan dot berisi ASI yang disedot karena payudaraku tidak memiliki puting cukup besar. Kutatap Ibu lalu menggeleng pelan. "Nggak usah, Bu. Sekolah nggak penting lagi untukku sekarang."
"Giselle!" Ibu bersuara keras, membuat dot Gibran jatuh dan mengenai sedikit lehernya. "Kapan kamu mau mendengarkan Ibu, Nak? Coba sekali saja kamu pikirkan Ibu, Ayah, dan anakmu kelak. Sampai kapan kamu mau jadi egois? Dulu kami menentang kedekatanmu dengan lelaki itu, tapi kamu balas menentang dan berbuat hal hina dengannya. Lalu sekarang apa, Nak? Apa lagi yang kamu rencanakan untuk mempermalukan dirimu sendiri? Mempermalukan kami?"
Aku tidak membalas dan memilih untuk berbaring di samping Gibran. Kupejamkan mata rapat-rapat. Tidak peduli Ibu mau berdecak, menyumpahiku, atau bahkan memukulku dengan rotan kasur seperti dulu. Aku lelah. Ibu dan Ayah tidak mengerti yang kurasakan.
Tidak tahu sudah berapa lama bertahan pura-pura tidur, hingga kurasakan usapan tangan Ibu di kepalaku, lalu derap langkah menjauh disusul dengan bunyi pintu ditutup. Mataku kembali terbuka, kali ini diiringi oleh hujan di sudutnya.
***
Saat pertama kali merasakan jatuh cinta, aku seperti terbang dari ketinggian, melayang, lalu jatuh terhempas. Ya, jatuh dan cinta memang sepaket. Saat aku merasakan terbang karena buaian, lain waktunya aku merasakan jatuh karena belaian. Jika saja tidak tergoda, maka aku tidak akan sejatuh ini. Hidup memang kejam.
Seperti yang dikatakan-sejujurnya dipaksakan Ibu-minggu lalu, aku mendaftarkan diri untuk mengikuti program Paket C. Meski tidak berniat untuk melanjutkan ke tingkat kuliah, setidaknya aku punya ijazah SMA. Selesai mengurus ini-itunya, aku segera menuju halte, menunggu bus lain karena tidak bisa mengejar bus yang baru saja berangkat.
Seseorang pernah berkata, "Jangan mengejar bus yang sudah berangkat, karena masih ada bus lainnya akan datang. Begitu juga dengan cinta. Jangan mengejar cinta yang dengan sengaja pergi, karena bisa jadi ada cinta lain yang sudah mengantri."
Cih! Aku kesal sekali dengan orang-orang yang terlalu melankolis dengan kata-kata manis. Sebab, aku adalah salah satu korban dari buaian kata tersebut. Rasanya seperti mau mati saja karena terlalu bodoh.
Begitu bus lain datang, aku segera naik tanpa peduli telah menyenggol penumpang lain atau tidak. Duduk di tepi dekat jendela, lalu memasang headset setelah membayar ongkos ke kernet. Mataku disuguhi pemandangan memuakkan di sepanjang jalan. Betapa beruntungnya remaja-remaja di luar sana bisa menikmati hari-hari tanpa memikirkan anak di rumah. Bisa berkumpul dengan teman-teman di sekolah maupus kampus. Tidak seperti diriku.
Selain memikir anak, ada rasa malu yang setiap detiknya semakin bertumpuk begitu melihat rupa Ibu dan Ayah. Begitu mengintip atau bahkan melangkah keluar rumah, rasa tersebut semakin menjadi-jadi hingga membuatku nyaris mati berdiri. Tidak sanggup untuk melanjutkan semua ini di usia yang kata mereka masih waktunya untuk bersenang-senang. Terlalu banyak penyesalan yang tidak bisa kuubah hanya dengan mundur ke belakang.
Semua ini terlalu berat untukku.
Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Masih kudapati pandangan tetangga yang mengintip-intip dari sudut mata. Mereka terlalu mencampuri urusan orang. Rasanya seperti aku ingin mengasingkan diri ke planet lain. Muak sekali hidup di bumi.
"Gis, sudah pulang?"
Aku menghela napas mendengar pertanyaan retoris Ibu. Sudah jelas tadi melihatku masuk, masih juga bertanya.
"Buka pintunya, Gis, anakmu mau makan itu, loh..."
Aku menoleh pada Gibran yang mengoceh tidak jelas di tengah ranjang. Tangan dan kakinya menggapai-gapai udara. Meski belum sepenuhnya bisa mengasuh anak, tetap saja aku tidak bisa menahan senyum melihat tumbuh kembangnya. Meski sangat membenci si penyumbang sperma, tetap saja aku tidak bisa membenci Gibran. Anakku adalah anugerah. Dia adalah calon masa depan seseorang yang telah kuperjuangkan antara hidup dan mati.
"Gis, kamu dengar Ibu nggak, sih?" Suara Ibu yang disertai ketukan di pintu kembali terdengar. "Kamu ini...."
Aku tidak menanggapi decakan Ibu. Sebenarnya aku ingin menggantikan Ibu menyuapi Gibran makan bubur, tapi tangan ini selalu saja bergetar dan malah membuatnya belepotan-yang ujung-ujungnya membuat Ibu berceramah panjang karena aku tidak becus.
"Gimana tadi?" Ibu bertanya setelah membersihkan sudut bibir Gibran yang terkena bubur.
"Nggak gimana-gimana, sih, Bu."
Ibu kembali berdecak. "Kamu itu kapan pintarnya, Gis? Gimana mau ceritain tentang masa-masa sekolah nanti untuk anakmu, hm? SD tinggal satu kali, SMP tinggal satu kali, SMA putus karena..."
Perkataan Ibu terhenti berikut dengan suapan untuk Gibran. Aku membuang muka yang kuyakini sudah merah padam. Ya, kalian boleh menghakimiku. Terserah. Nyatanya aku memang sebodoh itu. Tinggal di kelas lima SD dan dua SMP. Putus di kelas dua SMA karena bobol. Terpaksa dinikahkan-dan ternyata menjadi madu dari istri pertama. Diceraikan saat usia anakku baru memasuki bulan keenam. Kurang bahan apa lagi untuk diceritakan pada anakku kelak, hm?
"Kenapa nggak dilanjutin, Bu? Nggak apa-apa, kok. Itu kan fakta. Aku bodoh, tolol, nggak bisa menjaga diri. Apa lagi sebutan yang pantasnya, Bu?" Suaraku tidak bergetar. Ini sudah dibiasakan sejak hari perceraian itu terjadi dan para tetangga mulai bergosip yang tidak-tidak. Meski begitu, air mata tetap saja mengaliri pipiku. Rasanya sakit, tapi tidak berdarah.
Ibu diam dan kembali menyuapkan bubur Gibran. Aku memilih untuk keluar dari kamar dan menonton di ruang depan. Dari balik tirai jendela, masih kudapati ibu-ibu yang melewati rumah kami mencuri pandang. Mereka pasti ingin mencari celah untuk melihatku; memastikan apakah aku masih waras atau sudah hilang akal. Mereka pasti butuh bahan baru untuk diperbincangkan di warung ataupun pemberhentian gerobak sayur keliling.
Huh! Sepertinya doa mereka akan segera terkabul. Aku seperti mau gila saja sekarang.
***
Akhir-akhir ini aku lumayan banyak waktu luang untuk merevisi banyak naskah lama. Termasuk naskah yang sedang berjalan. Semoga nggak membosankan, ya.
Terima kasih sudah membaca!
Regards,
Barbie.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...