Halo!
Mohon koreksi jika ada penulisan dialek Minang yang salah di bawah ini. Terima kasih. :)
***
"Udaranya sejuk. Lingkungannya juga masih asri banget." Mas Abraham mengamati sekeliling ruang tamu, lalu kembali padaku. "Mas masih nggak nyangka kamu bakal kabur tanpa pesan apa pun. Kalau bukan berkat Ibu, mungkin saat ini dan seterusnya Mas nggak akan bisa bertemu lagi dengan Gibran. Itu kan niat kamu?"
Aku tidak menanggapi perkataan Mas Abraham. Pemandangan di depan rumah lebih menarik; perempuan-perempuan muda tengah berkumpul di teras rumah seberang sambil menganyam kerajinan tangan. Sepertinya seru sekali bisa ikut bergabung dengan mereka. Bercerita keseharian atau tentang perempuan sambil mengerjakan hal bermanfaat. Bahkan sepertinya ada dari mereka yang seumuran denganku.
"Nanti Mas bakal tanya sama Ibu ada rumah kosong di sekitar sini yang dijual atau nggak, biar nanti selain rumah Ibu, Gibran juga bakal punya rumah sendiri di kampung halaman Ibu dan Neneknya."
Aku mendelik mendengarnya. "Sekalian rumah paling mewah di ujung jalan ditanyain," ketusku.
"Boleh juga. Kayaknya emang kosong." Mas Abraham menyeruput minuman hangatnya, lalu ikut kembali menatap ke luar rumah. "Mesin jahit kamu nggak dibawa?"
"Ya kali bawa mesin jahit pakai pesawat. Bawa sepeda Gibran aja susahnya udah minta ampun." Sebenarnya aku memang sangat ingin membawa mesin jahit dan mengisi waktu di sini dengan menghasilkan banyak baju untuk Ibu dan Gibran, atau menjualnya di platform sosial media seperti yang dikatakan rekan-rekan di tempat kursus dulu.
"Nanti sore kita bisa pergi belanja ke Plaza Bukittinggi. Sekalian bawa Ibu sama Gibran main-main ke Taman Kinantan." Mas Abraham buru-buru menggeleng saat melihatku hendak protes. "Tolong jangan membuat Mas merasa lebih buruk lagi, Gis, please. Mas cuma pengen penuhin kebutuhan kamu, Gibran, dan Ibu. Mas udah janji ke Ayah untuk selalu bahagiain kamu; bagi kamu kebahagiaan itu tergantung pada Ibu dan Gibran."
Kepalaku bergeleng. Aku tidak pernah menggantungkan kebahagian pada Ibu dan Gibran. Bagiku, melihat mereka ikut bahagia adalah kebahagian tersendiri. Katakan, itu bukan bergantung pada mereka, kan? Aku hanya ingin kami sama-sama bahagia.
"Gis—"
"Ayah nggak akan suka melihat perlakuanmu, Mas. Kami nggak bisa memanjakan Gibran kayak kamu. Nanti sewaktu-waktu kamu nggak bisa datang dan memberikan semua yang terbiasa dia dapatkan, siapa yang akan melakukannya? Nanti sewaktu-waktu Gibran terlena dengan keroyalan dan kemewahan yang biasa kamu berikan, siapa yang akan menggantikannya? Tolong, jangan buat aku dan Ibu makin sulit. Kamu bukannya membantu kami, Mas, melainkan makin menyusahkan. Kamu sendiri tahu Ayah udah nggak ada. Hidup kami sekarang cuma bergantung pada uang jaminan pensiun Ayah. Kami nggak bisa memanjakan Gibran kayak kamu memanjakan Jonathan setiap harinya."
Suara Gibran terdengar dari halaman depan. Tadi Ibu mengajaknya membeli camilan di warung—padahal aku tahu itu hanya alasan Ibu saja agar bisa memberikan waktu untuk Mas Abraham berbicara empat mata denganku. Menghela napas, kususul kedua orang itu dengan senyum palsu yang terpasang di bibir.
"Bu, rumah di ujung jalan itu kosong, ya?"
Aku menatap tajam ayah dari anakku itu yang ternyata benar-benar menanyakan tentang rumah pada Ibu. Namun, lelaki kepala batu itu tidak mengacuhkan arti tatapanku dan terus menanti jawaban Ibu.
"Rumah putih bertingkat dua itu, ya?"
"Iya, Bu. Yang ada patung air pancuran di depannya."
Ibu melirikku yang mulai tidak nyaman. "Kalau nggak salah memang kosong rumahnya. Kamu nggak tiba-tiba pengen pindah juga, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...