BAB DELAPAN (+)

622 72 2
                                    

Halo!

***

Entah keputusan tepat atau tidak, aku mengundurkan diri dari swalayan, dua hari setelah Mas Abraham berkunjung untuk menenangkan Gibran. Selain karena alasan waktu untuk si kecil yang sangat berkurang, juga karena Ibu akhir-akhir ini sering mengeluh sakit pinggang. Dalam hitungan bulan, Ayah juga akan pensiun dari PNS. Kami hanya akan bergantung dari tunjangan hari tua Ayah. Lalu Mas Abraham kembali mengumbar janji pada Ibu untuk menanggung semua biaya hidup kami-yang aku tahu pasti ada udang di balik batu.

Tumbuh kembang Gibran semakin pesat. Anak laki-lakiku kini tengah aktif jalan cepat. Dipancing dengan mainan, dia akan bergegas berdiri dan menggapainya untuk kemudian digigit-gigit. Belum sampai berlari, tapi sepertinya sebentar lagi dia akan melakukannya. Bahkan jika lengah sebentar saja, Gibran akan memanjat sofa dan akan jatuh ketika turun. Untungnya saja karpet bulu tebal menjadi alas ruang tamu, beberapa bantal juga disusun di bawahnya, sehingga Gibran tidak akan berbenturan langsung dengan lantai saat jatuh.

Seperti sekarang, saat si kecil aktif itu tengah menurunkan lagi bantal sandaran sofa, lalu turun dengan mendahulukan kepalanya. Aku tertawa melihat tingkah polahnya. Padahal sudah berkali-kali kupraktikkan padanya untuk mendahulukan kaki, namun apalah daya ketika bayi satu tahun ini justru tidak paham yang kumaksudkan.

"Bu...," pekiknya, lalu berjalan menuju tempatku berdiri di tepi jendela dekat pintu. "Bu..., nen," pintanya.

"Haus, ya? Siapa suruh manjat-manjat, kan energinya jadi habis," gurauku, menggelitiki pinggang gembul-nya sambil membawa kembali ke sofa. "ASI Ibu ada nggak, ya," lirihku, usai mendudukkan Gibran di samping kiri, lalu memijat payudaraku beberapa kali.

"Nen...," pekiknya lagi, melihatku sudah mengeluarkan payudara kiri. "Nen, Bu...."

"Oke, ada ASI-nya. Dikit, sih, tapi nggak apa-apalah. Udah lama juga kamu nggak nyusu langsung, ya, Sayang."

Aku meringis saat Gibran menggigit puting kecilku dengan gemas. Dia tertawa melihat tatapanku, lalu kembali mengisap dengan kencang. Sambil terus menatap wajah tenang Gibran, pikiranku melayang pada momen indah hampir tiga tahun lalu. Saat Mas Abraham melakukan hal yang sama seperti Gibran saat ini.

***

Akhir-akhir ini aku sering berbohong pada Ayah dan Ibu. Dengan alasan kerja kelompok di rumah Sindy, sahabat dekat di sekolah, aku pun diizinkan menginap karena lokasi yang terlalu jauh untuk berbalik saat malam hari. Padahal faktanya yang kulakukan adalah menghabiskan malam panas dengan Mas Abraham. Bercinta di apartemen yang sudah diubah kepemilikannya menjadi namaku. Ya, pada akhirnya aku pun luluh dengan tindakan dewasa yang diajarkan Mas Abraham.

Malam Minggu ini aku kembali beralasan kerja kelompok agar bisa berkencan dengan Mas Abraham. Kekasihku itu sudah menunggu di apartemen sejak satu jam lalu. Ini adalah pertemuan pertama kami setelah seminggu lebih Mas Abraham disibukkan dengan pekerjaan. Bahkan untuk sekadar membalas telepon atau pesanku saja sangat lama. Maka dengan hati berbunga-bunga, berbalutkan gaun indah pemberiannya, aku pun menuju apartemen menggunakan motor yang baru dibelikan Ayah dua minggu lalu.

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore saat aku tiba di apartemen. Pintu terbuka setelah kutempelkan ibu jari di sensor keamanan. Aroma makanan cepat saji langsung menyerbu, membuat perutku-yang terakhir diisi saat makan siang tadi-langsung berbunyi.

"Mas...," panggilku, tidak mendapati seorang pun kecuali pizza dan burger di atas meja. Masih hangat, sepertinya baru dipesan.

"Kamu udah sampai?"

Mas Abraham rupanya mandi saat kupanggil tadi. Tetes-tetes air masih mengalir dari ujung rambutnya. Saat ini dia sudah mengenakan celana pendek tanpa atasan. Tegap dan terawat, meski tidak sixpack seperti kebanyakan tokoh di novel, namun tetap saja melunturkan imanku dan menyerahkan diri dengan mudah ke dalam pelukannya.

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang