Halo!
Terima kasih sudah membuka bab ini!
Silakan dibaca dan jangan lupa tinggalkan vote serta komentar, ya! :)
***
WHOLEHEARTEDLY – 11
Aku terbangun pukul dua subuh. Gibran di sebelahku masih lelap dalam tidurnya. Gelas di atas nakas sudah kosong, membuatku harus mengisi ulang ke dapur. Usai menenggak setengah gelas dan kembali mengisinya hingga penuh, aku memilih untuk berdiam diri di meja makan.
Ini sudah dua minggu sejak terakhir kali Mas Abraham datang dan kami makan bersama. Setelah itu dia tidak lagi menyempatkan diri untuk mampir dan hanya memberi kabar lewat pesan atau panggilan video. Bukan masalah besar bagiku, hanya saja harus ekstra sabar menenangkan Gibran yang tengah di masa sulitnya mengendalikan emosi.
Selain itu, masih ada satu lagi yang menjadi pemikiran hingga membuatku kesulitan tidur lelap belakangan ini. Perihal keponakan Ketua RT yang baru kembali dari kuliahnya di luar negeri. Aku tidak tahu pastinya di negara mana. Namun yang jelas, lelaki itu sudah dua kali datang ke rumah dan berbasa-basi untuk menjadi ayah baru Gibran. Terlalu gamblang, memang, bahkan sangat berterus terang pada Ayah dan Ibu. Kedua orang tuaku itu sempat menanyakan apakah sudah ada niatanku untuk kembali menikah dan tentunya langsung kujawab belum.
Aku tahu ketakutan besar orang tuaku belakangan ini, yaitu tidak bisa lagi bersama sebelum memastikan ada orang lain yang bisa menjagaku dan Gibran. Kalau sampai harus memikirkan tentang itu, aku pasti akan langsung menangis. Sebab, hatiku masih sangat belum bisa menerima kehilangan. Terlebih sudah lima hari terakhir ini sakit Ayah semakin parah. Sempat dibawa ke dokter dan rupanya ada gangguan di saluran pernapasan yang membuat batuk beliau mengeluarkan darah. Ibu—yang sangat pintar berbohong—selalu mengatakan semuanya baik-baik saja kepadaku. Padahal aku ada di sana, mendengarkan semuanya langsung dari mulut dokter. Ibu selalu mengatakan tidak perlu cemas, padahal sendirinya lebih cemas. Sangat jelas terlihat dari wajahnya.
"Ya Allah, hamba sangat jarang meminta banyak hal padaMu. Hamba belum siap kehilangan, tolong jangan ambil mereka. Tolong ... kasihani hamba," pintaku dengan bibir bergetar, melihat ke sembarang arah. "Tolong sembuhkan Ayah dan kuatkan Ibu. Tolong...."
PRANG!!!
Suara pecahan kaca membuatku terkesiap. Kuseka air mata dan langsung berlari menuju sumber suara yang berasal dari kamar orang tuaku. Tanpa mengetuk, langsung kubuka pintu dan mendapati Ayah tengah dipapah Ibu di pinggir ranjang. Suara batuk keras langsung memenuhi telinga. Kudekati mereka dan membantu membersihkan bibir Ayah yang mengeluarkan bercak darah.
"Gis, tolong ambil air hangat ke dapur, Nak."
Aku langsung menuruti perintah Ibu. Sekalian membawa sapu dan sekop untuk membersihkan pecahan gelas. Ayah sudah bersandar di kepala ranjang saat aku kembali. Ibu langsung meminumkan air hangat untuk Ayah dan memberikan sebutir obat. Namun, Ayah menggeleng sambil tangannya menggapaiku. Tidak ada perkataan apa pun yang keluar dari mulut Ayah. Hanya tatapan dan linangan air mata. Hidungku sudah pasti kembang kempis karena menahan tangis. Ibu juga sama.
"Ayah harus minum obat," kataku, masih dengan suara bergetar. "Minum, Yah...," paksaku, kali ini deru napasku sudah tidak beraturan seperti orang sesak. "Yah..."
Ayah kembali menggeleng lemah. Matanya mengerjap pelan hingga linangan di pelupuk sana tumpah. Ibu mengusap pipi Ayah, lalu menyuruhku bergeser agar tubuh Ayah bisa dibaringkan. Tangan Ayah kembali menggapaiku, sangat lemah dan terasa dingin.
"Giselle, anak Ayah."
Sekiranya itulah yang terdengar samar. Aku menggeleng melihat Ayah kini tidak lagi menatapku. Mata Ayah terarah ke langit-langit kamar. Ibu menunduk di telinga kanan Ayah, membisikkan kalimat syahadat berulang-ulang. Ayah sempat sedikit kejang sebelum akhirnya benar-benar diam dengan mata tertutup.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...