HAI!
Terima kasih sudah mampir.
BTW, bentar lagi liburan. Jadi aku bakal sering update, insyaallah...
Selamat membaca! :)
***
Sudah dua bulan lamanya sejak terakhir kali kubawa Gibran ke arena bermain anak. Sekadar mandi bola atau berlarian dengan teman sebaya di sana. Maka siang ini, usai mengutarakan niatku pada Ibu dan Ayah, kubawalah Gibran ke mal. Hanya kami berdua karena akhir-akhir ini Ayah sering sakit-sakitan dan Ibu harus siap siaga menemani beliau.
Setiap kehidupan pasti ada kematian, aku tahu itu. Bahkan sudah mempelajari hal tersebut sejak masih duduk di bangku kelas tiga MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah)—setara dengan kelas empat di bangku SD. Namun, aku belum sanggup jika duka itu menghampiri keluarga kami. Aku masih sangat bergantung pada orang tuaku. Terutama Ibu. Jika nanti tidak ada lagi mereka, siapa yang akan membantu menenangkanku saat Gibran berulah dan tenaga serta mentalku sudah dikuras habis?
Menghela napas, kuperhatikan Gibran yang tampak ceria mengobrol—dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh para batita—dari kursi tunggu. Sekali-kali kukeluarkan ponsel dan mengarahkan kamera kepada putraku yang tengah tertawa. Melihatnya selepas itu membuat semua rasa kesalku pada siapa pun bisa terhenti sejenak, sebab fokusku hanya akan terarah padanya.
Ya, harusnya. Sebelum mataku menoleh ke tempat makan di samping timezone dan mendapati Mas Abraham bersama keluarga kecilnya tengah makan di sana. Rasa sakit kembali menyerang begitu melihat kelincahan lelaki itu menyuapi Jonathan di pangkuannya. Menyuwirkan ayam tanpa saus dan kembali mengangsurkan ke mulut si kecil. Di depannya, ada Mbak Dyah yang turut makan dengan lahap dan sekali-kali mengangsurkan kentang goreng untuk anaknya.
Kapan Gibran juga bisa merasakan makan di luar dengan Ayahnya? Menikmati suasana heboh di tengah kerumunan sambil mengoceh dengan bahasanya sendiri. Tentu saja jawabannya tidak akan pernah. Sampai kapan pun orang-orang hanya akan tahu bahwa cucu keluarga Orlando adalah Jonathan seorang. Gibran bukan siapa-siapa melainkan orang asing.
"Bu! Bu!"
Kepalaku kembali menoleh pada Gibran yang sudah mendekati pagar dan meminta minum. Kuberikan botol padanya dan dia langsung menyeruputnya dengan kencang. Putraku ini kehausan sekali karena terlalu semangat bermain.
"Kita mamam dulu, yuk! Gibran udah lapar, kan?"
"Mamam, Bu." Dia menepuk perutnya dengan sebelah tangan memberikan kembali botol minum. "Mamam yam goeng."
"Iya, kita mau makan ayam goreng," kataku, lalu memasangkan sepatu Gibran sebelum menggendongnya menuju tempat yang sama dengan keluarga kecil Mas Abraham.
Kupilih meja yang berjarak lumayan jauh dari mereka. Gibran didudukkan di kursi khusus anak yang memang disediakan. Sambil menunggu pesanan datang, kukeluarkan ponsel dan kembali memotret putraku yang mengoceh tidak jelas sambil memukul-mukul meja dengan tangan mungilnya. Kegiatan ini hanya bisa kami lakukan sekali-kali karena tidak mungkin boros menggunakan uang kiriman Mas Abraham. Ibu selalu menyuruhku menyisihkan sebagai bentuk antisipasi jika sewaktu-waktu tidak lagi mendapat kiriman.
Pesanan kami datang. Gibran kembali heboh dan bergumam 'mamam' terus menerus. Sekali-kali kulirik ke arah meja Mas Abraham, mereka tidak menoleh, karena memang suasana sedang lumayan ramai dan suara heboh Gibran akan tersamarkan. Saat ayam serta nasiku sudah habis, tiba-tiba datang seorang pelayan dan memberikan dua es krim dan lima bungkus lagi ayam besar serta nasi, kentang goreng, dan burger besar.
"Maaf, Mbak, saya nggak pesan," kataku, sudah kepalang heran namun seketika lenyap saat menoleh dan mendapati Mas Abraham menatap kami—ada ponsel di tangannya. "Oh, makasi, Mbak."

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...