BAB DUA BELAS

274 69 0
                                    

Halo!

Mohon koreksi jika ada penggunaan dialek Minang yang salah di bawah ini. Sebab, setahuku tiap daerah di Sumatra Barat memiliki dialek masing-masing.

Selamat membaca!

***

Lima bulan usai kepergian Ayah, Ibu mengajakku pindah ke kampung halaman beliau di Bukittinggi. Rumah kami di Jakarta tidak akan dijual ataupun dikontrakkan. Hanya ditinggal dalam keadaan bersih dan perabot-perabot sudah dibungkus kain. Aku tidak bisa menolak keinginan Ibu. Terlalu egois untuk memaksakan tetap tinggal, sementara Ibu harus terus-terusan menahan sedih dan kerinduan pada kekasih hatinya, yaitu Ayahku.

Setelah dua puluh tiga tahun tumbuh besar di Kota Metropolitan ini, akhirnya aku mengikuti Ibu melangkah keluar untuk menetap lama. Aku memang tidak lahir di sini, tapi sejak masih berusia tiga bulan sudah dibawa ke Jakarta karena Ayah mendapat surat tugas di daerah Kelapa Gading. Kota ini terlalu banyak memberikan kenangan; kelahiran dan kematian menjadi saksi suka dan dukaku. Sebelum Gibran lahir, kehadiran Mas Abraham sangat memberikan kebahagiaan. Namun, bukan berarti setelah kelahiran putraku itu hanya ada kesedihan dalam hidup kami. Selalu ada Ibu dan Ayah yang membangkitkan kembali keceriaan dalam hidupku. Namun lagi, kematian juga merenggut hampir separuh nyawa kami; aku dan Ibu yang amat kehilangan sosok Ayah—kehilangan sosok superhero kami.

"Udah semuanya, Gis?"

Aku kembali menatap rumah kami, lalu mengangguk. "Udah, Bu."

"Yuk!" Ibu mengusap tanganku, saling menyalurkan kekuatan untuk kami berdua. "Gibran dibiarin aja jalan sendiri. Lagi aktif-aktifnya itu."

Aku kembali menurunkan Gibran dari gendongan. Membiarkan batita lucu itu menggendong ransel mainannya dengan semangat. Di depan warung tidak jauh dari gank rumah kami sudah ada taksi online yang menunggu untuk mengantarkan kami ke bandara. Kuraih satu koper besar dan satu tas punggung berisi pakaian kami. Ibu hanya membawa satu tas ukuran sedang dan satu koper kecil. Sebelum menyusul Ibu yang sudah duluan masuk taksi dengan Gibran, kupandangi kembali rumah kami, lalu menghela napas sangat pelan. Sopir taksi ikut membantu memasukkan koper besar dan tas yang tadi ditinggal Ibu di samping taksi.

Tidak seorang pun kenalan yang kukabari perihal kepindahan kami. Entah teman-teman semasa kerja di swalayan, kursus menjahit, ataupun Mas Abraham. Meski Ibu sudah menyuruhku untuk mengabari ayah dari anakku itu, tetap saja tidak kuturuti dan memilih berbohong saat ditanya sudah atau belum. Dengan ini, aku ingin mengubah alur cerita hidupku—cerita hidup kami. Tidak ada lagi kesedihan karena melihat keluarga kecil Mas Abraham ataupun gunjingan tetangga yang ingin memastikan kewarasanku masih berfungsi atau mungkin sudah gila.

***

"Bu!" pekikan Gibran terdengar diikuti tangisan kerasnya. "Bu! Puyang! Bu!"

Aku segera melepas sapu dan masker. Langsung berlari menuju kamar baru Gibran—yang sudah dibersihkan lebih dulu saat kami tiba tiga jam lalu—dan memeluknya sambil membuai-buai di gendongan. Selalu begini jika dia terbangun di tempat asing.

"Puyang, Bu!"

"Sst, Gibran udahan nangisnya, ya. Kita sekarang tinggal di sini, Sayang." Kuturunkan kembali Gibran ke pinggir ranjang, lalu menunjuk beberapa figura yang sudah disusun di nakas dan dipajang di dinding kamar. "Tuh, ada foto Gibran, Ibu, sama Ayah juga. Berarti ini kamar Gibran sekarang. Nggak boleh nangis-nangis lagi. Oke, Sayang?"

Ya, aku tahu dia tidak akan mengerti perkataanku. Tapi, setidaknya dia lebih tenang setelah memperhatikan foto-foto kami. Kembali kugendong Gibran dan membawanya ke kamar Ibu. Perempuan yang telah melahirkanku itu masih tidur pasca kelelahan di pesawat dan travel bandara tadi. Gibran duduk di samping Ibu, masih menatapku tanpa putus.

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang