Selamat membaca!
Mampir juga ke cerita yang lain di profilku, ya. :)Btw, WattPad nggak ada notif belakangan...
***
“Gimana sama Arya keponakannya Pak RT?”
Pertanyaan Ibu kujawab dengan gelengan pelan. Sudah dua minggu berlalu sejak kunjungan Mas Arya—juga kunjungan dadakan Mas Abraham yang justru berakhir menciumku dengan paksa. Aku tidak menceritakan hal tersebut pada Ibu. Tidak ingin membuat beliau marah apalagi mengkhawatirkanku. Terlebih perkembangan Gibran sekarang membuat Ibu cukup kewalahan. Di usianya yang sudah dua tahun lebih, Gibran sangat aktif dan mulai mengekspresikan mana yang dia suka dan tidak disukainya. Aku bersyukur meski tidak selalu didampingi Ayahnya, Gibran tetap bisa tumbuh seperti anak lainnya.
“Ibu masih berharap kamu mau melanjutkan hidup dengan berpasanganan, Gis.” Ibu kembali berkata dengan suara pelannya. “Meskipun kamu merasa bisa melakukan apa pun untuk Gibran, dia tetap lebih membutuhkan figur ayah yang nggak akan pernah bisa sama dengan figur ibu. Tapi, Ibu nggak mungkin memaksa kamu. Hidup kamu, kamu yang menjalaninya.”
Aku menatap Ibu yang terlihat sudah mengantuk. Wajar saja, sekarang sudah pukul sembilan kurang, dan di luar hujan sedang deras-derasnya. Kusentuh tangan keriput Ibu, lalu kembali bergeleng. “Aku belum tahu harus gimana, Bu. Untuk sekarang, aku masih nyaman sendiri. Hujannya makin deras, makin dingin juga. Ibu belum mau tidur?” tanyaku, mengalihkan topik. Gibran di pangkuanku juga sudah makin lelap karena kutepuk-tepuk pahanya.
“Hm. Iya, Ibu mau tidur. Kamu juga tidur sana.”
Kupandangi langkah Ibu ke kamarnya, lalu menunduk pada putraku. Kuusap-usap pipinya yang berisi, lalu pada rambutnya yang mulai sedikit ikal di bagian bawah—belum sekali pun pernah kupotong—dan meniupnya. Rambutnya yang seperti ini justru membuat Gibran terlihat mirip dengan Gebara, pamannya. Bangkit dari posisi duduk, aku pun membawa Gibran ke kamarku. Hujan-hujan begini dia akan sering terbangun dan menangis, terlebih jika ada suara petir di luar sana.
Tidurku yang lelap terganggu oleh ketukan pintu di luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Hujan masih mengguyur deras hingga membuatku berpikir dua kali untuk turun dari ranjang. Entah memang orang di luar sana atau hanya suara hujan. Sayangnya, ketika mataku kembali terpicing, ketukan samar-samar itu kembali terdengar. Berjalan keluar dengan rasa kantuk yang masih menyerang, sebentar kubuka pintu kamar Ibu dan mendapati beliau tengah lelap dalam tidurnya, lalu beranjak ke pintu depan. Mataku membola melihat Mas Abraham yang lumayan basah menunggu pintu untuk segera dibuka. Sambil berdecak, kuputar anak kunci sepelan mungkin dan membuka pintu dengan ragu.
“Hai,” sapanya, terlihat menggigil. “Maaf berkunjung malam-malam.”
Kulihat depan dan samping rumah tetangga, tidak ada cahaya mencurigakan yang melirik ke sini. “Buruan masuk sebelum ada yang curiga ada maling ke sini malam-malam hujan begini.” Kuambilkan handuk dari kamar Gibran dan menyerahkannya dengan raut kesal. “Ngapain sih ke sini malam-malam? Gangguin orang tidur aja tahu nggak!”
Mas Abraham melepas kemeja dan menyisakan kaus polos yang sepertinya tidak ikut basah—mungkin sekadar lembab. “Mas lagi pusing.”
“Udah tahu pusing malah ke sini. Biar apa? Biar makin pusing?!” sewotku.
“Gugatan yang Mas ajuin udah diterima pengadilan agama.” Mas Abraham mengambil tanganku, namun segera kutepis. “Kamu mau kan nunggu sampai prosesnya selesai?”
Mataku memicing geram. Kalau bisa, asap sudah keluar dari kedua lubang hidungku yang bernapas dengan berat. Namun, belum juga menjawab, suara kenop pintu kamar terdengar. Kutolehkan kepala dan terkejut melihat Ibu berdiri sambil menggendong Gibran.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...