BAB ENAM BELAS

104 13 11
                                    

Terima kasih sudah mampir.
Jangan lupa baca cerita lainnya juga, ya. :)

***

"Gibran demam, ya?"

"Iya, Mas. Kemarin lusa keasikan main air sama anak tetangga, terus malamnya langsung flu. Ini udah lumayan kurang panasnya."

Mas Arya mengusap kening Gibran, lalu menatap putraku yang sudah berusia dua setengah tahun ini dengan senyum manisnya yang begitu khas. "Anak kuat. Nambah-nambah kepandaian juga bisa jadi." Kembali menarik diri, lalu membukakan pintu mobil untukku. "Masuk, Gis, biar aku yang bantuin bawa barang-barang Ibu."

Aku mengangguk saja. Duduk dengan nyaman di mobil Mas Arya. Hari ini, tepat dua bulan setelah aku memberikan jawaban untuk menerima perasaannya. Kami memulai dengan pelan-pelan. Bukan berpacaran, tapi bukan juga bertunangan. Intinya menjalin komitmen sampai aku mengatakan iya untuk ke tahap yang lebih serius lagi, yaitu pernikahan. Jahat memang. Kalau kata Ibu, aku menggantungkan perasaan Mas Arya tanpa kepastian.

Hah, entahlah!

Kami berencana untuk menghabiskan libur lebaran di Jakarta. Ibu juga sangat ingin mengujungi makam Ayah dan merayakan lebaran di rumah yang penuh kenangan itu-yang sejujurnya sangat berat untukku karena ini adalah lebaran pertama tanpa Ayah. Mas Arya begitu baik sampai rela hati menjemput kami ke bandara di akhir pekan yang seharusnya dia manfaatkn untuk istirahat kerja.

"Masih ada yang ketinggalan, Bu?" tanya Mas Arya pada Ibu yang sudah duduk manis di kursi tengah.

"Sudah semua kok, Nak Arya." Ibu beralih padaku. "Sini, Gibran sama Ibu saja, Gis, berat kalau dipangku terus."

"Biar sama aku aja, Bu. Nggak pa-pa. Lagian Gibran juga masih rewel karena ingusnya banyak." Kuusapkan tisu untuk menghilangkan lelehan ingus di pinggir lubang hidung putraku, lalu kembali menatap Ibu. "Nanti kalau udah lelap banget baru aku pindahin Gibran ke belakang."

"Oke, kalau gitu kita berangkat sekarang, Gis, Bu?"

Aku mengangguk pelan pada Mas Arya, lalu kembali menunduk menatap Gibran yang tampak mengantuk.

"Seatbelt-nya, Gis, biar aman." Mas Arya mendekat untuk membantu menarik sabuk pengaman dan mengencangkannya. Dia usap kening Gibran dan beralih ke belakang untuk memastikan sabuk Ibu juga sudah terpasang.

Sedih sekali karena justru bukan Mas Abraham yang begitu peduli pada anak kami, melainkan Mas Arya. Bahkan aku yakin Ibu sudah mengabari mantan menantunya itu bahwa kami akan ke Jakarta berlibur lebaran.

***

Aku mengintip di jendela dan mendapati ada beberapa tetangga mencuri-curi pandang ke arah rumah kami. Tentu saja, sudah beberapa bulan sejak kami pergi dan tiba-tiba datang lagi dijemput keponakan Pak RT. Ibu-ibu yang sudah mencalonkan anaknya untuk menggaet Mas Arya terlebih lagi, aku pernah beberapa kali tidak sengaja mendengar obrolan mereka, sekarang pasti makin panas-dingin padaku.

"Alhamdulillah. Puasa hari ini lancar. Sisa dua hari lagi."

Kepalaku menoleh pada Ibu yang baru selesai menghabiskan menu buka puasa. Hari ini aku tidak puasa karena tengah menstruasi, sudah hari keempat, tapi aku ragu akan dapat hari terakhir puasa.

"Biar aku aja yang beresin, Bu."

"Makasih, ya, Gis. Ibu mau salat dulu," kata Ibu yang kujawab dengan anggukan dan dehaman saja.

Usai semua kembali bersih, aku beranjak ke kamar dan mendapati Gibran masih tidur pulas. Kelelahan di perjalanan dan masih agak panas, jadi butuh banyak istirahat.

Aku tengah menikmati camilan kentang goreng saat pintu rumah diketuk dan suara Ibu mengobrol dengan Mas Abraham terdengar. Kuhela napas, lalu menyusul keluar setelah memastikan posisi tidur Gibran aman dari jatuh.

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang