BAB EMPAT

426 79 6
                                    

Kembali lagi dengan Dedek Gibran....

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Pertemuan dengan Mas Abraham minggu lalu sukses membuatku tidak bisa tidur nyenyak berturut-turut. Kotak beludru berisi dua kalung emas sudah kusimpan bersamaan dengan amplop-amplop tebal yang masing-masing berisi uang lima juta dan secarik kertas bertuliskan: uang tambahan. Rasanya aku ingin tertawa keras karena tingkah lelaki itu.

Dua bulan lalu, aku baru berhasil menyimpulkan—mengapa lelaki itu selalu menitipkan amplop berisi uang tambahan pada Gebara—bahwa dia tidak ingin istri dan orang tuanya tahu kalau dia mengirimkan uang yang lumayan banyak untuk Gibran—dan aku setiap bulan. Dia seperti lelaki yang pantas dijuluki 'anak mami' di usianya yang sudah sangat dewasa. Membuatku malu saja untuk mengakui bahwa kami pernah berhubungan dan sampai sekarang masih terikat oleh anak.

Ketukan di pintu membuat lamunanku buyar. Suara Ibu yang menanyakan apakah aku akan pergi bekerja terdengar. Menghela napas, aku pun menjawab 'ya'. Gibran masih lelap dalam tidur. Kuusap pipinya yang lumayan berisi, lalu mengusap rambut sedikit ikal itu pelan.

"Nanti Abraham mau ke sini, kangen Gibran katanya. Boleh, ya, Gis?"

Informasi tersebut membuatku berhenti memasang sepatu. "Ngapain, sih, dia sering-sering ke sini dengan alasan pengen ketemu Gibran. Sudah untung aku mau kirimin foto Gibran sekali sehari. Seminggu ini dia benar-benar ngelunjak."

Sejak seminggu terakhir ini, Mas Abraham sering mampir ke sini satu jam sebelum jam pulang kerja dengan alasan bertemu Gibran. Aku takut. Bisa-bisa dia membawa Gibran tanpa sepengetahuan Ibu atau setiap ada kesempatan. Orang kaya seperti dia selalu punya banyak cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

"Gis, bagaimanapun juga Gibran anak kalian berdua. Jangan egois. Gibran juga butuh perhatian dari Ayahnya."

"Kan ada Ayah yang juga sayang sama Gibran," sahutku lagi, masih tidak ingin Mas Abraham mampir.

"Gibran cucu Ayah, Gis, bukan anak. Kasih sayang dan perlakuan kami berbeda." Ayah ikut menyahut dari meja makan.

"Tetap aja, Yah. Aku nggak mau ada dia di rumah kita. Merusak pemandangan aja."

Ibu menjitak kepalaku sambil terus menyemburkan ceramah. Tidak mau lebih lama mendengarnya, aku pun segera menyambar jaket identitas pekerja swalayan. Ya, akhirnya aku mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah swalayan dengan pusat perkantoran. Berjarak sekitar setengah jam dari rumah.

Usai menyalami Ayah dan Ibu, aku langsung melajukan motor menuju swalayan. Baru tiga hari menjadi kasir di sana, namun rasanya seperti sudah berbulan-bulan. Pelayanan yang harus selalu ramah membuatku kesal karena harus melulu tersenyum palsu. Menawarkan promo dan ini-itu sampai mulut berbusa, namun hanya sedikit dari mereka yang menanggapi dengan sama ramahnya. Ck, memang miris betul nasib menjadi orang bawah.

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang