BAB DUA

478 80 9
                                    

HAI!
Cerita ini sebenarnya terinspirasi dari kehidupan sehari-hari yang mungkin pernah salah seorang dari kalian alami. Jika memang begitu, maka cerita ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengungkit luka lama. Anggaplah cerita ini sebagai satu dari sekian alternatif yang digunakan untuk menyuarakan apa yang sulit untuk kamu ceritakan pada orang lain mengenai hal pahit yang telah kamu lalui.

Percayalah....
Akan selalu ada pelangi selepas hujan, tapi berhentilah menjadi pelangi untuk orang yang buta warna. :)

Teruslah bergerak untuk kemajuan hidupmu!

Semoga suka!

***

Aku baru saja selesai mengikuti ujian terakhir dari Paket C. Sedikit banyaknya, soal-soal yang keluar masih bisa kujawab dengan yakin. Meskipun tidak pernah masuk sepuluh besar, setidaknya aku masuk dua puluh besar dari tiga puluh lima murid di kelas—dulu. Beberapa soal bahkan termasuk jenis favoritku saat masih di sekolah resmi dulu. Tapi, okelah, itu sudah berlalu dan aku paling anti mengingatnya.

Saat ini aku tengah menunggu bus di halte. Duduk sambil mendengarkan musik melalui earbud tanpa peduli dengan calon penumpang lain yang sibuk mengobrol tidak jelas. Mataku terus melirik mobil-mobil pribadi yang lewat. Teringat kembali masa-masa menikmati jalan-jalan sepulang sekolah dengan mobil mewah.

Aku bukan tipikal perempuan penggila materi. Saat bertemu dengan Mas Abraham pertama kalinya, dia tidak menggunakan mobil, hanya motor besar yang saat itu tidak sengaja menyenggol motor matikku.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya saat itu.

Lumrahnya remaja yang jatuh cinta, aku merasakan itu saat bertatapan dengan mata cokelat terangnya. Seperti terhipnosis, mematung begitu saja tanpa respons.

"Halo?" Dia melambaikan tangannya di depan mataku.

"Ya?"

"Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?"

Aku menggeleng cepat. Memang benar, motorku hanya sedikit oleng, beruntung gerak refleks untuk menurunkan kaki langsung tergerak dan tidak jatuh ke aspal. Lelaki itu mengangguk, lalu memberikan nomor ponselnya untuk jaga-jaga jika saja ada efek samping dari senggolan motor kami. Dia tidak mau lari dari tanggung jawab, katanya.

Oke, dengar, efek samping dari senggolan motor kami bukanlah pada sakit fisik. Melainkan batinku. Aku tidak bisa tidur nyenyak berhari-hari karena terus saja memikirkan lelaki bernama Abraham Orlando itu. Berkali-kali kupandangi deretan angka yang merupakan nomor ponselnya; antara ingin menelepon atau sekadar mengirim pesan. Tapi, lagi-lagi aku teringat kata Ibu untuk tidak berlaku agresif dan murahan pada laki-laki asing. Alhasil, aku hanya menahannya untuk saat itu.

TEEET!

Suara keras dari klakson bus membuyarkan ingatanku akan pertemuan pertama dengan Mas Abraham, mantan suamiku. Aku segera berdiri dari duduk dan masuk ke dalam bus setelah menyenggol seorang laki-laki yang sama berdesakan masuk ke dalam. Biarlah, yang penting aku dapat tempat duduk karena lelah harus berdiri.

***

"Gimana tadi?"

Aku menuangkan air ke dalam gelas lalu menenggaknya, baru kemudian menjawab, "Lancar, Bu."

"Gibran dari tadi nangis. Biasanya Ibu pindahin ke ayunan bakal diam, tapi ini enggak."

Aku berjalan dengan cepat ke kamar. Takut terjadi hal yang tidak-tidak pada anak semata wayangku. Benar kata Ibu, Gibran merengek pelan sambil terus mengemut dotnya. Kuelus kepalanya dengan pelan, mata terpicing sambil berusaha menahan gemetaran, lalu mencium keningnya.

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang