KITA MEMASUKI BAB-BAB YANG MENGURAS EMOSI SIH, MENURUTKU. CERITA INI TAMAT PADA BAB 25 YA....
***Suara teriakan Gibran berhasil menerbitkan senyum di bibirku. Bocah dua setengah tahun itu tampak girang bermain dengan anak tetangga. Ramai sekali untuk Gibran karena memang lebaran kali ini banyak rupanya yang tidak mudik di RT tempat kami tinggal. Suara takbir masih menggema usai salat Idul Fitri dilaksanakan dua jam lalu. Kami juga sudah selesai menikmati ketupat dan opor.
Biasanya hari pertama lebaran akan dihabiskan dengan berkelana ke rumah-rumah tetangga. Namun, kali ini tampaknya tidak. Ibu kelelahan. Tidak ada Ayah yang memandu kami berbasa-basi. Sepi di tengah keramaian. Begitulah kondisi yang bisa dijelaskan.
“Gis, itu Nak Arya sama keluarganya mau ke sini.” Ibu membuka pintu rumah yang sebenarnya sudah terbuka, hanya saja lebih dilebarkan sembari melemparkan senyum ke arah kedatangan Pak RT dan orang tua Mas Arya.
“Giselle sekarang masuk umur berapa, ya?”
“Dua puluh dua, Tante.” Pertanyaan dari Ibu Mas Arya kujawab dengan sungkan. Pasti menjadi tanda tanya besar di kepala perempuan paruh baya itu, melihat tumbuh kembang Gibran yang sudah pesat—berekspektasi kalau usiaku mungkin sedikit lebih tua, jadi tidak membingungkan bagi mereka begitu tahu kondisiku menjadi seorang janda.
“Oalah, Tante pikir lebih muda.” Ada tawa segan di bibir bergincu merah itu. “Arya sebenarnya udah bilang kalau kamu masih awal dua puluhan. Cuma pas ketemu gini kok kayak nggak percaya gitu. Kayak anak SMA.”
Aku tidak tahu ke mana arah kalimatnya. Pujian atau sindiran?
Bisa kulihat Om Lukman, Ayah Mas Arya, menyikut lengan istrinya, memberi kode agar tidak banyak bicara. Mereka kembali mencicipi kue dan menyesap sirup khas lebaran yang sudah kusajikan dengan Ibu tadi. Sementara Gibran yang duduk tenang di pangkuan Mas Arya membuatku makin tidak karuan karena sepertinya orang tua Mas Arya tidak begitu menyukainya.
“Makasi lo, Bu Jani, atas jamuan lebarannya. Maklum saja kami jarang pulang ke Jakarta. Papanya Arya ini kan lumayan sibuk di Australia. Ini juga Arya disuruh cepat balik malah sengaja lama-lama di sini.” Tante Renata kembali mengabaikan sikutan suaminya.
“Bu Jani, kami nggak bisa lama. Habis ini harus ke rumah kerabatnya Arya di Pekalongan. Terima kasih atas jamuannya, ya, Bu.” Om Lukman menarik pelan lengan istrinya, diikuti Ibu berdiri mengantar ke pintu.
Napasku sedikit tertahan melihat penolakan secara tidak langsung tadi. Jelas sekali. Tante Renata tidak suka dengan cerita ‘kedekatan’ versi Mas Arya yang sudah diberitahukannya pada ibunya itu. Om Lukman pun terlihat sama. Lagipula tentu saja, Mas Arya orang berada, sekolah tinggi-tinggi di luar negeri, harusnya mendapat pasangan yang setara—setidaknya dari segi latar belakang pendidikan.
Ah, bagaimana ini?
Kuabaikan ramah-tamah yang palsu itu tanpa beranjak dari sofa. Gibran yang sudah diserahkan padaku pun mulai merengek karena mengantuk. Bahkan sepanjang obrolan tadi pun aku tidak begitu mengacuhkan Mas Arya. Aku tidak mau terlihat begitu ingin masuk sementara keluarganya jelas-jelas menutup pintu. Hanya Pak RT dan istri beliau yang tulus beramah tamah dengan kami.
Aduh, pusing sekali Ibu, Nak.
***
“Ayah!”
Teriakan Gibran mengalihkan fokusku dari layar televisi. Anak laki-lakiku sudah melompat-lompat girang menyambut Mas Abraham yang datang dengan banyak tentengan. Oh, rupanya ada Gebara juga di belakangnya. Aku langsung berdiri untuk menyiapkan minum—tentu saja, setelah mendapat tatapan tajam dari Ibu.

KAMU SEDANG MEMBACA
WHOLEHEARTEDLY
General FictionGiselle Cantika pernah jatuh cinta. Perasaan yang membuat dia jatuh dan tenggelam dalam kelam. Masa-masa yang seharusnya dilalui dengan indah bersama teman sebaya harus dilalui dengan murung dan terkurung. Duniawi telah menyesatkannya. Abraham Orlan...