BAB TUJUH

348 68 24
                                    

Tulisan bercetak miring di bawah ini kilas balik, ya, guys!

Selamat membaca! :)

***

Hari Jumat ini Mas Abraham sudah berjanji untuk menghabiskan waktu berkencan denganku. Setelah seminggu terakhir dia sibuk dengan pekerjaan di luar kota, akhirnya hari ini dia akan mengajakku untuk jalan-jalan. Aku sudah meminta izin pada Ayah dan Ibu untuk pergi dengan Mas Abraham sepulang dari sekolah—ya, meski ada penolakan di awal dan nasihat-nasihat lainnya terkait hubunganku dengan seorang lelaki dewasa.

"Mas punya hadiah buat kamu," katanya, sambil mengusap tangan kananku dengan tangan kirinya. "Tapi sebelum itu, kamu harus janji dulu nggak bakal ngasih tahu orang lain."

Meski ragu, aku tetap mengangguk setuju. "Hadiah apa?"

Lampu merah sudah berganti hijau. Mas Abraham tersenyum misterius. Dia melepaskan tanganku saat harus mengganti gigi mobil dan kembali fokus pada jalanan di depan. "Kamu lihat nanti aja, ya."

Kepalang penasaran, aku menurut saja. Kami mengantre sebentar untuk memesan burger dan beberapa makanan cepat saji lainnya. Setelah berkendara lebih kurang setengah jam—karena jalanan lumayan padat menjelang sore—akhirnya kami tiba di depan dua gedung tinggi bersisian. Aku kembali menatap Mas Abraham yang masih diam.

"Ini bukan hotel, kan, Mas?" tanyaku, sedikit cemas.

"Bukanlah, Gis. Ngapain Mas bawa kamu ke hotel?"

"Terus ini di mana?" Aku ikut turun dan menyamakan langkah saat kekasih dewasaku ini mengulurkan tangan. "Vittoria Resident I," ejaku, membaca nama yang tercetak megah di balik meja resepsionis. Di bagian bawahnya tertulis apartment. "Bukannya Mas tinggal di rumah pribadi, ya? Ngapain ke gedung apartemen ini?"

Mas Abraham pernah beberapa kali membawaku ke rumah bertingkat dua di Jakarta Barat. Rumah yang sepi dan hampir bisa dikatakan kosong. Hanya ada sofa dan beberapa pernak pernik. Terdiri atas lima kamar tidur dengan kamar mandi dalam, serta dua kamar mandi luar. Aku mengingatnya karena pernah diajak tour house di sana. Kata Mas Abraham, dia membeli rumah itu dua tahun lalu. Untuk deposito meski tidak selalu menetap di sana.

"Yuk, masuk!"

Tanpa ragu, aku terus mengikuti Mas Abraham memasuki apartemen yang terletak di lantai lima belas ini. "Ini apartemen siapa, Mas? Kok ada foto-foto kita?" tanyaku, semakin dirundung penasaran.

"Sini dulu, dong." Dia mengulurkan tangan agar aku duduk di sebelahnya. "Coba kamu buka."

Aku membuka amplop yang diberikan, lalu membaca surat-surat mengenai kepemilikan apartemen yang tertulis atas nama Abraham Orlando. Ada beberapa surat lainnya yang tertulis atas namaku. "Maksudnya gimana, Mas?"

"Apartemen ini awalnya mau Mas beli pakai nama kamu. Tapi karena asisten Mas salah nangkap informasi, jadinya malah kebeli pakai nama Mas. Tapi tenang, ini lagi dalam proses penukaran nama. Jadi, ya, apartemen ini Mas belikan untuk kamu. Hadiah jadian kita yang keenam bulan."

Aku terkejut, tentu saja. Tempo lalu Mas Abraham membelikanku ponsel keluaran terbaru yang nominalnya terdiri atas delapan digit. Sebelumnya lagi sebuah laptop canggih yang tak kalah mahal. Katanya, biar aku makin giat belajar. Terlebih saat lelaki itu tahu aku suka mengarang cerita. Biar bisa menyalurkan imajinasi lewat ketikan, katanya lagi. Ayah dan Ibu sampai marah karena aku menerima begitu saja hadiah-hadiah yang diberikan. Padahal sudah berkali-kali aku mencoba menolaknya, tapi Mas Abraham seolah tuli dan tetap memberikan semuanya padaku.

"Mas...," seruku, "ini berlebihan banget, tahu nggak?"

Senyum manis terpasang di bibirnya, lalu merangkum wajahku dengan kedua tangan besarnya. "Nggak ada yang berlebihan untuk kamu. Ini bahkan belum seberapa. Kalau bukan untuk kamu, untuk siapa lagi mau Mas kasihin apa yang Mas punya?"

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang